Siapa Caleg 2024 untuk DPR-RI/ DPD-RI/ DPRD Prov. dan DPRD Kab./Kota-mu? Cek di sini...

Berita Anggota Parlemen

Punya Penyakit Jantung dan Gula, Hakim Izinkan Setya Novanto Berobat Tiap Hari Jumat

sumber berita , 29-12-2017

Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta mengabulkan permohonan terdakwa kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP, Setya Novanto, untuk berobat.

Rencananya, ketua DPR RI nonaktif itu akan menjalani pengobatan di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta Pusat.

"Sebelum sidang ditutup, saya beritahukan permohonan saudara untuk cek kesehatan pada hari Jumat dan juga permohonan izin besuk telah dikabulkan majelis," tutur Yanto, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor untuk perkara korupsi proyek pengadaan e-KTP.

Setelah mengabulkan permohonan Setya Novanto untuk berobat, majelis hakim meminta kepada yang bersangkutan untuk berhubungan dengan panitera.

Selain itu, majelis hakim juga mengabulkan permohonan izin dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK untuk meminjam Setya Novanto yang akan diperiksa sebagai saksi.

"Jadi nanti masing-masing bisa berhubungan dengan panitera kami," ujar Yanto.

Tim penasihat hukum Setya Novanto mengapresiasi keputusan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta mengabulkan permohonan kliennya untuk berobat.

"Iya memang medical record Pak Setnov kan jelas. Kami sudah sampaikan pemeriksaan kemarin itu kan bukan imajinasi sakitnya. Pak Setnov ada medical recordnya," tutur Fahmi, salah satu Penasihat Hukum Setya Novanto.

Dalam medical record, kata dia, Setya Novanto mempunyai gangguan jantung dan gula. Menurut dia, medical record itu sudah disampaikan kepada majelis hakim.

"Sehingga, kami mengucapkan terima kasih kepada majelis karena mempertimbangkan beliau untuk berobat. Kami hormati dan apresiasi," katanya.

Tidak Puas

Pengacara mantan Ketua DPR RI Setya Novanto, Firman Wijaya mengaku tak puas dengan jawaban jaksa penuntut umum atas eksepsi yang diajukannya.

Terutama soal hilangnya sejumlah nama pejabat hingga anggota DPR dalam dakwaan Novanto.

Padahal, nama-nama tersebut tertera dalam dakwaan Irman dan Sugiharto. Keduanya merupakan mantan pejabat di Kementerian Dalam Negeri.

"Kami sudah duga JPU KPK tidak menyentuh soal nama-nama hilang itu. Kami sangat menyesalkan karena transparansi peradilan itu penting," ujar Firman.

Firman mengatakan, jaksa hanya menjelaskan soal pemisahan perkara (splitsing) dan penggabungan perkara.

Jaksa, kata dia, mengatakan bahwa Novanto terlibat dalam kasus dugaan korupsi e-KTP.

Namun, nama-nama yang disebut turut serta menerima uang dari proyek itu tak disebutkan dalam dakwaan Novanto.

"Jadi anomali pendapat KPK menunjukkan KPK gamang dalam transparansi hilangnya nama-nama itu," kata Firman.

Firman mengatakan, bersamaan dengan hilangnya nama penerima, semestinya berkurang juga nilai kerugian negara.

Namun, dugaan kerugian negara yang diduga ditimbulkan Novanto masih sama dengan dakwaan sebelumnya, yakni Rp 2,3 triliun.

Oleh karena itu, pengacara masih mendesak KPK membeberkan alasan dihapuskannya nama-nama tersebut.

Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebelumnya memaparkan soal pemisahan penanganan perkara atau splitsing dalam kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP.

Penjelasan tersebut dipaparkan dalam jawaban atas eksepsi yang diajukan mantan Ketua DPR RI Setya Novanto.

Jaksa Eva Yustisiana mengatakan, splitsing perkara merupakan salah satu kewenangan diskresi penuntut umum dalam proses penuntutan.

"Yakni mengajukan beberapa pelaku tindak pidana terpisah meski dari satu perkara hasil penyidikan," ujar Eva.

Eva menjelaskan, splitsing diatur dalam Pasal 142 KUHAP yang berbunyi :"Dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 141, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah."

Di sisi lain, jaksa juga berhak menggabungkan perkara yang dinilai saling berkorelasi, baik dari segi pelaku maupun kasusnya.

Dalam pasal 141 KUHAP, disebutkan bahwa penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara yang saling berkaitan.

Pertama, beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya.

Kedua, beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lain.

Ketiga, beberapa tindak pidana yang tidak tersangkut-paut satu dengan yang lain, tapi ada hubungannya.

"Yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan," kata Eva. 

Diposting 29-12-2017.

Dia dalam berita ini...

Setya Novanto

Anggota DPR-RI 2014
Nusa Tenggara Timur II