Anggota DPD RI yang juga Aktivis Perlindungan Anak Fahira Idris, mengapresiasi langkah Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang akan melakukan pemblokiran iklan rokok di internet.
Namun, Fahira meyakini, pemblokiran tidak akan berdampak signifikan dalam menurunkan prevalensi perokok anak dan remaja usia 10-18 tahun, tanpa dibarengi kebijakan dan aksi di lapangan. Dalam hal ini, pemberian sanksi tegas kepada mereka yang menjual rokok kepada anak-anak, sangat diperlukan.
"Larangan menjual rokok pada anak di bawah 18 tahun, memang sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau. Namun, sanksi bagi yang melanggar, tidak tegas dan tidak jelas," ujar Fahira dalam keterangan tertulis yang diterima RMco.id, Selasa (18/6).
Ketidaktegasan dan ketidakjelasan itulah yang akhirnya membuat anak-anak leluasa membeli dan mengonsumsi rokok. Penjual pun merasa tidak melanggar hukum karena menjual rokok kepada anak. Apalagi, mereka tidak pernah ditindak dan diberi sanksi.
“Akibatnya, kita melihat anak-anak begitu mudahnya membeli dan mendapatkan rokok. Jadi, hulu persoalan meningkatnya konsumsi rokok pada anak dan remaja adalah mudahnya akses membeli rokok. Baik di warung, minimarket, ataupun tempat-tempat lainnya. Gejala seperti ini kan sudah puluhan tahun terjadi, dan belum menjadi perhatian penuh pemerintah, terutama Kemenkes. Karena itu, harus ada gerakan masif yang menyadarkan pemerintah, bahwa menjual rokok pada anak di bawah umur adalah tindakan melanggar hukum," papar Fahira.
Ia menjelaskan, titik krusial dan langkah efektif untuk menurunkan prevalensi perokok anak dan remaja adalah mempersempit atau menutup ruang dan akses kepada anak-anak, untuk mendapatkan atau membeli rokok.
Terkait hal itu, Fahira meminta Kemenkes membuat strategi komprehensif untuk melindungi anak dari bahaya rokok. Antara lain berupa penguatan dari sisi regulasi larangan, sanksi tegas bagi yang menjual rokok kepada anak-anak, penguatan penyebaran informasi publik soal larangan pedagang menjual rokok kepada anak-anak, program-program kreatif penyadaran bahaya rokok; terutama bagi anak dan remaja serta mewajibkan setiap orang yang hendak membeli rokok untuk menunjukkan identitas atau KTP sebagai tanda sudah berumur lebih dari 18 tahun.
“Peningkatan prevalensi perokok anak dan remaja saat ini sudah sangat mengkhawatirkan. Saya mengapresiasi Kemenkes untuk pemblokiran iklan rokok di internet. Namun, persoalan ini butuh strategi dan solusi yang komprehensif. Bukan parsial seperti ini. Sekali lagi, inti persoalan meningkatnya anak-anak mengkonsumsi rokok di Indonesia adalah kemudahan yang ada untuk membeli dan mendapatkan rokok. Ini yang harus kita hentikan,” pungkas Fahira.
Sebagai informasi, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan adanya peningkatan prevalensi perokok anak dan remaja usia 10-18 tahun, dari 7,2 persen (2013) menjadi 9,1 persen (2018).