Asumsi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) dalam RAPBN 2020 dipersempit menjadi Rp 14.000-Rp 14.500 per dollar AS. Sebelumnya, pemerintah sendiri lewat Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di hadapan Komisi XI DPR RI menetapkan nilai tukar sebesar Rp 14.000-Rp 15.000 per dollar AS.
“Penetapan asumsi rentang nilai tukar yang dipersempit ini memberikan dasar dan keterbatasan yang cukup bagi pemerintah dalam bauran kebijakan dan sinerginya dengan BI dan OJK di level fundamental untuk tetap selalu fokus, prudent, inovatif, dan efektif pada stabilitas ekonomi yang tetap menunjang pertumbuhan secara keseluruhan,” kata Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan kepada Parlementaria, Senin (24/6/2019).
Menurut politisi Partai Gerindra itu, asumsi rentang nilai tukar rupiah yang lebar justru akan memperlihatkan tingginya risiko eksternal yang dapat mempengaruhi depresiasi maupun apresiasi nilai tukar dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi AS, Tiongkok, Eropa, eskalasi perang dagang, dan menurunnya harga komoditas, serta ketidakpastian pasar keuangan dunia.
“Dengan memperhatikan berbagai aspek data, terlihat adanya faktor-faktor yang secara langsung mempengaruhi kestabilan kurs rupiah seiring menurunnya perdagangan ekspor-impor Indonesia, aliran modal masuk yang tetap berlanjut di investasi langsung dan portofolio (5,2 miliar dollar AS dan 5,4 miliar dollar AS secara berurutan di Kuartal I tahun 2019), serta cadangan devisa yang ada,” urai Heri.
Namun, sambung mantan Wakil Ketua Komisi VI DPR RI itu, keterkaitan antara manajemen keuangan yang dilakukan pemerintah memperlihatkan kondisi yang memprihatinkan. Ditegaskannya, manajemen utang saat ini tidak hanya digunakan untuk membiayai defisit APBN, tetapi juga digunakan untuk intervensi kurs dengan pola penarikan utang yang jauh lebih besar dari defisit APBN.