Calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) petahana Farouk Muhamad mempersoalkan kemenangan calon anggota DPD lain di Mahkamah Konstitusi (MK). Farouk merasa dicurangi oleh caleg DPD pemenang di dapil Provinsi NTB yang mengakbatkan ia gagal menduduki kembali kursi keanggotaan DPD RI periode 2019-2024.
Dalam permohonannya, Farouk menyebut ada sejumlah pelanggaran pemilu legislatif (pileg) di dapilnya, seperti adanya tindakan tidak jujur, adil, politik uang, dan penggelembungan suara. Salah satu yang menarik dipersoalkan penggunaan pasfoto yang diedit oleh caleg yang meraup suara terbanyak bernama Evi Apita Maya. Evi dianggap berbuat tak jujur karena mengedit pasfotonya hingga wajahnya nampak lebih cantik dari aslinya.
“Calon anggota DPD dengan nomor 26 atas nama Evi Apita Maya telah memanipulasi atau mengedit pasfoto di luar batas kewajaran atau setidak-tidaknya foto editan yang mengubah identitas diri antara lain dagu, hidung, mata, warna kulit, dan struktur tubuh jika dibandingkan dengan gambar keadaan asli sebagaimana ditampilkan dalam rekaman video kampanye (akan dibuktikan dengan keterangan ahli)," demikian bunyi salah satu poin permohonan Farouk pada Senin (15/7/2019).
Farouk sendiri dalam Pileg 2019 dinyatakan kalah dari empat caleg DPD lain, termasuk Evi, yang mengantongi 283.932 suara. Sedangkan Farouk hanya mengantongi 188.687 suara. Farouk menilai dengan foto editan tersebut, membuat Evi berhasil meraup suara lebih besar darinya, padahal lawan politiknya itu tidak maksimal dalam melakukan sosialisasi/kampanye. Baca Juga: Demokrat Persoalkan Tak Sesuainya DPT Papua Barat.
“Perolehan suara terbanyak ini paling tidak dapat dilacak dari pemilih yang memilihnya dengan alasan foto calon nomor urut 26 atas nama Evi Apita Maya cantik dan menarik, walaupun pemilih tidak mengetahui siapa (sebenarnya) calon tersebut. Ini kemudian pemilih, Pemohon, beserta calon anggota DPD lain merasa tertipu dan dibohongi (bukti P-6)," ujar Farouk dalam alasan permohonannya.
Salah satu kuasa hukum Pemohon, Heppy Hayati Helmi mengatakan pihaknya mendalilkan pelanggaran administrasi dan pelanggaran proses pemilu legislatif terhadap Evi. Untuk memperkuat dalil permohonan ini, Pemohon bakal menghadirkan ahli di persidangan. "Calon anggota DPD No. urut 26 atas nama Evi Apita Maya diduga telah melakukan manipulasi atau melakukan pengeditan terhadap pasfoto di luar batas kewajaran yang tidak sesuai dengan Pasal 65 ayat (1) huruf j Peraturan KPU No. 30 Tahun 2018," kata Heppy Hayati Helmi dalam sidang pendahuluan, Jumat (12/7/2019) kemarin.
Setelah mengedit pasfotonya sendiri, Evi memasang foto editan pada alat peraga kampanye berupa spanduk atau baliho dan membubuhi logo DPR RI di dalamnya. Padahal, kata Heppy, yang bersangkutan sebelumnya tidak pernah tercatat sebagai anggota DPR RI.
“Banyak masyarakat NTB memilih yang bersangkutan hanya karena pertimbangan kecantikan parasnya pada foto yang ada di spanduk. Perbuatan calon nomor urut 26 atas nama Evi Apita Maya ini telah nyata mengelabui dan menjual lambang negara demi mendapat simpati rakyat NTB," tudingnya.
Calon anggota DPD RI yang lain untuk dapil Provinsi NTB juga disebutnya merugi atas perbuatannya itu. Ia dituduh melanggar asas pemilu soal kejujuran. "Pemilih, Pemohon beserta calon anggota DPD RI lain merasa tertipu dan dibohongi. Dengan demikian telah melanggar asas pemilu karena tidak jujur," tegasnya.
Tak hanya itu, Heppy mengatakan Evi juga telah melakukan politik uang dengan cara membagikan sembako dengan mengarahkan pemilih yang bertulisan “Mohon doa dan dukungan segenap masyarakat NTB cerdas, peduli, tanggap, menyalurkan aspirasinya pilih No. 26,” kata Heppy.
Kuasa hukum yang lain, Alungsyah mengaku optimis permohonannya bakal dikabulkan oleh MK. “Permohonan kita berbeda daripada yang lainnya, terlebih ini fenomena yang langkah, jadi kita optimis. MK harus keluar dari Mahkamah Kalkulatornya, jangan hanya memutus perbedaan angka,” kata Alungsyah kepada Hukumonline, Senin (15/7/2019).
Alungsyah menilai Evi tak hanya memasang foto menjadi cantik, tetapi ia juga melakukan money politic dengan memberi sembako bertuliskan dukungannya untuk dipilih menjadi anggota DPD dan juga penggelembungan suara. Selain itu, dalam baliho kampanyenya ada lambang negara DPD. Padahal, hal itu tidak diperbolehkan. “Kami akan menghadirkan 2 sampai 3 ahli pada hari Kamis 18 Juli 2019,” kata dia.
Kaget
Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna mengaku kaget terhadap dalil permohonan tersebut. Ia mengaku baru tahu ada kasus kekalahan di pemilu karena foto baliho yang kelewat cantik. "Kaget juga saya ini kalau ternyata foto bisa berurusan jadi anu juga, ya. Ya, benar. Saya baru tahu itu. Jadi, kalau saya nanti fotonya nggak begini itu misalnya, gimana itu, ya? Bisa jadi dibuat foto editan," kata Palguna.
Palguna mengaku tidak punya kapasitas menilai seberapa besar tingkat keaslian sebuah foto. Palguna menyerahkan kepada para pihak untuk membuktikan apakah ada pengaruh foto editan agar menjadi lebih cantik dalam perolehan suara pemilu legislatif.
"Kalau Mahkamah memeriksa foto itu begini paling, 'Oh, ya, ini bagus, kalian begitu, kan? Siapa itu, mungkin ada kewenangan Bawaslu. Karena kami berkaitan dengan perolehan suara, tapi ya kaitannya dengan perolehan suara bagaimana itu kan nanti ada dalilnya tersendiri. Itu akan dipertimbangkan Mahkamah," ujar Palguna.
Dalam foto di baliho sebagai media kampanye, Evi tampak mengenakan jilbab warna krem dibalut dengan warna kebaya hijau. Mukanya tampak kuning langsat. Matanya berbinar dan mukanya tanpa noda. Tapi apakah gara-gara foto itu warga NTB memilihnya yang berakibat Faoruk gagal kembali ke Senayan? "Makanya penting nanti mungkin Termohon (KPU) dan Bawaslu untuk menjawab itu (apakah foto editan bisa berpengaruh ke perolehan suara)," kata Palguna.