Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Iskan Qolba Lubis meminta Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Maros memiliki kreatifitas mencari dana. Pasalnya, Pemerintah memotong anggaran Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) sekitar 52 persen atau sekitar Rp 257 miliar dari pagu anggaran tahun 2019 lalu.
"Komisi VIII dengan tegas menolak pemotongan anggaran tersebut, diperlukan Kementerian PPPA membicarakn langsung dengan Presiden. Untuk itu, saya meminta agar Pemerintah Daerah kreatif dan inovasi dalam mencari dana bantuan. Seperti yang dilakukan salah satu situs penggalangan dana ‘Kitabisa.com’, banyak orang yang ikut tersentuh dan akhirnya menyumbang untuk kesulitan orang lain," kata Iskan usai pertemuan dengan DP3A Maros, Sulsel, Jum'at (26/7/2019).
Ia menambahkan, pengalaman para pekerja sosial, jika benar-benar jujur dan melayani, InsyaAllah dana itu akan datang sendiri. Tapi hal ini harus disampaikan ke publik, jangan takut menyampaikan kebaikan. "Saya yakin, apalagi perusahaan yang memiliki dana CSR (Corporate Social Responsibility), banyak yang mau membantu korban kekerasan anak maupun perempuan. Jangan terlalu mengharapkan APBN, terkadang perosesnya lama, terkadang kita sudah tidak menjabat, anggarannya belum juga cair," ujarnya.
Legislator Dapil Sumut ini menyayangkan pemotongan anggaran di Kementrian PPPA, padahal permasalahan anak semakin banyak. Belum lama ini, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menyatakan anak-anak yang sudah kecanduan game online itu sebagai penyakit gangguan mental. Tentu, hal ini menjadi tugas baru para pekerja sosial.
"Saya ambil contoh di kota-kota besar, ada seorang anak tiba-tiba menjerit sehabis main game online, disangka ada pembunuhan, ternyata tidak. Saya meminta kepada para pekerja sosial tetap inovatif, InsyaAllah rezekinya banyak," tandasnya.
Dalam kesempatan itu, Kepala Dinas DP3A Maros, Muhammad Idrus, mengatakan beberapa hambatan dalam bekerja antara lain, belum ada rumah singgah di Dinas Sosial Maros, dana operasional terbatas, serta tidak adanya dana visum di P2TP2A atau DP3A.
"Kami sering mengalami penanganan kasus kekerasan perempuan yang membutuhkan visum, sementara anggaran di Kepolisian juga terbatas, maka kami sering menggunakan biaya pribadi," pungkasnya.