Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah setuju dengan amandemen terbatas UUD 1945. Namun, itu hanya untuk sebatas menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara.
Pernyataan itu diungkapkan oleh Ketua PP Muhammadiyah Haedar Nashir saat dikunjungi oleh pimpinan MPR di Gedung Dakwah PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (16/12).
“Melalui Pokok-Pokok Haluan Negara, Muhammadiyah dan MPR RI menilai siapapun yang memimpin Indonesia, akan punya acuan dalam melakukan pembangunan nasional yang sesuai jati diri dan karakter bangsa,” kata Ketua MPR Bambang Soesatyo.
Turut hadir para Wakil Ketua MPR RI, antara lain Hidayat Nur Wahid, Zulkifli Hasan, dan Arsul Sani. Rombongan pimpinan MPR RI diterima pengurus PP Muhammadiyah, antara lain Ketum Prof Haedar Nashir, Sekretaris Umum Dr. Abdul Muti, Bendahara Umum Suyatno, serta para Ketua seperti Dr. Anwar Abbas dan Dr. Goodwil Zubir.
Bamsoet sapaan (akrab Bambang Soesatyo, red) menambahkan, keinginan Muhammadiyah menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara sesuai dengan hasil Sidang Tanwir Muhammadiyah di Samarinda, Kalimantan Timur, pada Mei 2014.
Pokok-Pokok Haluan Negara diperlukan sebagai wadah untuk mengelaborasi tujuan bangsa seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945.
“Presiden harus punya pedoman dalam pembangunan. Visi dan misi Presiden tak boleh lepas dari Pokok-Pokok Haluan Negara. Karenanya, Muhammadiyah setuju amandemen terbatas demi menghidupkan kembali haluan negara,” tutur Bamsoet.
Lebih lanjut, Bamsoet juga menjelaskan, tantangan yang dihadapi Indonesia dan negara dunia lainnya makin kompleks. Penyelesaiannya pun tak bisa dilakukan hanya dalam tempo lima hingga 10 tahun. Perlu keberlanjutan atau kontinuitas satu periode pemerintahan ke pemerintahan selanjutnya.
“Seperti dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0 maupun perubahan iklim. Negara dunia seperti Singapura punya konsensus nasional yang menjadi basis perencanaan hingga seratus tahun dalam menanggulangi perubahan iklim,” ujar Bamsoet.
“Termasuk soal agenda memindahkan Ibu Kota Negara. Jika tak ada ketetapan lewat konsensus nasional, hanya berlandaskan undang-undang, bisa jadi yang sudah dirintis Presiden Jokowi dimentahkan kembali oleh penggantinya melalui Perppu,” Bamsoet menambahkan.
Walaupun sudah ada rekomendasi MPR RI periode 2014-2019 untuk amandemen UUD 1945, dukungan dari kelompok masyarakat seperti PP Muhammadiyah atau PBNU amat diperlukan. Penyerapan aspirasi ke berbagai lapisan masyarakat hingga ke pelosok daerah pun dilakukan, sehingga berbagai aspirasi terakomodir.
“Pelibatan berbagai kelompok dalam dialektika amandemen terbatas UUD NRI 1945 akan membuat ruang diskusi kebangsaan terbuka lebar. Sehingga tidak ada kelompok masyarakat yang merasa ditinggalkan,” pungkas Bamsoet.