Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aziz Syamsuddin menyoroti persoalan kelebihan kapasitas di sejumlah lembaga pemasyarakatan (lapas) di Indonesia.
Aziz menjelaskan proses penegakan hukum yang dilakukan Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) akan bermuara di pengadilan.
Setelah pengadilan, akan masuk lagi dalam proses lapas, yang merupakan akhir dari pembinaan narapidana menjalani hukuman yang telah diputus hakim, baik di Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tinggi (PT) maupun Mahkamah Agung. Tentunya keputusan yang sudah berkekuatan hukun tetap.
Nah, Aziz menegaskan bahwa persoalan yang terjadi di Indonesia adalah kelebihan kapasitas di lapas.
"Dalam hal ini lapas hampir 98 persen di Indonesia over capacity," ujar Aziz saat berbicara dalam Seminar Nasional "Revitalisasi Pancasila Dalam Penyelesaian Kasus Korupsi dan Pelanggaran HAM di Indonesia pada Era Post Truth" di GOR ACC Cunda, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh, Rabu (4/3).
Wakil ketua umum Partai Golkar itu menjelaskan berdasar data yang diperolehnya, over capacity itu menjadi beban pemerintah dari sisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
"Jumlahnya mencapai Rp 1,8 triliun setiap tahunnya dan itu posisi terutang, karena ini menjadi beban," ujar pimpinan DPR Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Korpolkam) itu.
Nah, Aziz menegaskan bahwa persoalan kelebihan kapasitas itu harus dibenahi. Legislator daerah pemilihan Lampung itu mengatakan sekaeang muncul pula pertanyaan apakah over capacity itu tidak melanggar hak asasi manusia (HAM).
“Dari sisi HAM apakah lapas yang kapasitasnya 200 yang diisi 200, itu melanggar HAM atau tidak? Ini juga harus digarisbawahi proses-proses ini. Melebihi kapasitas itu harus diselesaikan," ungkap dia.
Mantan ketua Komisi III DPR itu menjelaskan parlemen dan pemerintah sudah melakukan langkah-langkah progresif dalam bidang hukum, salah satunya Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan.
"RUU Lapas itu menjadi garda terdepan dalam melakukan perubahan dalam rangka regenerasi pembangunan hukum menuju satu hal yang tidak melakukan pelanggaran HAM. Pada akhirnya menuju satu hal yang tidak melakukan pelanggaran hukum,” paparnya.