Anggota Komisi XI DPR Melchias Markus Mekeng mengingatkan pemerintah agar Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19, tidak boleh dimanfaatkan para penumpang gelap atau free rider.
Menurut dia, di Jakarta, Jumat, penumpang gelap itu seperti dengan mencari celah dan kesempatan untuk memasukkan usahanya dalam program yang mendapat keringanan dalam perppu tersebut, padahal usahanya memang sudah bermasalah sebelum wabah COVID-19.
"Perppu ini mengatur tentang program pemulihan ekonomi nasional dengan tujuan melindungi, mempertahankan dan meningkatkan kemampuan ekonomi para pelaku usaha dari sektor riil dan sektor keuangan dalam menjalankan usahanya," kata Mekeng seperti dilansir dari Antara.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani juga mengatakan pemerintah tidak ingin pelaksanaan amanat penyelamatan ekonomi dalam upaya menangani Covid-19 dan dampaknya disusupi oleh penumpang gelap.
Sri Mulyani mengatakan Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) akan menggandeng Kejaksaan Agung, Polri, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai pengawas.
Indonesia memang memiliki pengalaman pahit pada saat penanganan beberapa krisis. Pada saat krisis moneter pada 1998, pemerintah melalui Bank Indonesia (BI) mengucurkan dana bantuan Rp147,7 triliun kepada 48 bank. Namun, nyatanya dana itu sebagian besar diselewengkan pemilik bank. Adapun pada 2000, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengumumkan hasil audit bahwa penyaluran Rp138 triliun itu bermasalah.
Lalu pada saat 2008, ketika terjadi krisis keuangan global, terjadi skandal Bank Century. Keputusan menyelamatkan bank dengan perkiraan awal Rp632 miliar dan kemudian membengkak jadi Rp6,7 triliun menyisakan riak politik hingga sekarang.
Sri Mulyani menegaskan langkah luar biasa yang diambil pemerintah guna menyelamatkan perekonomian dari krisis akibat wabah covid-19 dengan dana Rp404 triliun diharapkan tidak dimanfaatkan para pihak yang ingin mengambil keuntungan dalam kesempitan (Media Indonesia, Jumat,3/4).
Lebih lanjut, Mekeng yang merupakan Anggota Fraksi Partai Golkar DPR RI itu menilai pelaksanaan program tersebut harus dilakukan secara hati-hati dan aturan yang jelas, baik peraturan pemerintah (PP) maupun aturan pelaksananya.
Karena itu, menurut dia, jangan sampai program tersebut dimanfaatkan oleh penumpang gelap dengan mencari celah dan kesempatan untuk memasukkan usahanya dalam program ini, padahal usaha tersebut memang sudah bermasalah sebelum wabah COVID-19.
Dia mengusulkan agar program pemulihan berjalan dengan baik dan tepat, sehingga dalam melaksanakan program harus didampingi independent financial advisor baik lokal maupun asing.
"Hal itu untuk menutup celah bagi para penumpang gelap bermain curang dengan mengakali kinerja perusahaannya," ujarnya.
Mantan Ketua Komisi XI itu menilai, perppu yang diterbitkan memberikan kelonggaran bagi pemerintah untuk menaikkan defisit anggaran sampai dengan titik 5,05%.
Namun, dia menilai, sebelum menggunakan alternatif menaikkan defisit anggaran, pemerintah seharusnya melakukan realokasi dan pemotongan anggaran di kementerian dan lembaga (K/L).
"Itu sebagai bentuk kebijakan pengetatan ikat pinggang dari pemerintah, dan bukan ajang bagi pemerintah untuk jor-joran melakukan belanja yang tidak prioritas," katanya.
Berikan Kepastian
Mekeng mengapresiasi langkah cepat dan tanggap dari pemerintah dengan menerbitkan perppu tersebut, karena sebagai suatu langkah pemerintah untuk memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat serta usaha pemerintah untuk melakukan pemulihan ekonomi akibat pandemi COVID-19.
Dia mengatakan, di tengah keadaan yang penuh ketidakpastian dan saat diperlukan kebijakan yang cepat dan tepat, maka dirinya sangat mendukung dengan klausul pada Ketentuan Penutup dalam perppu tersebut.
"Isinya memberikan kelonggaran dan kepastian kepada pengambil kebijakan bahwa kebijakan yang diambil tidak dapat dipidanakan dan tidak merupakan objek gugatan dalam peradilan tata usaha negara," ujarnya pula.
Mekeng yang juga mantan Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR itu menegaskan bahwa klausul tersebut memberikan kepastian hukum dan keamanan serta kenyamanan bagi para pengambil keputusan di kemudian hari, sehingga keputusan dapat diambil sesegara mungkin dan setepat mungkin.
Namun, dia mengingatkan bagi pengambil keputusan bahwa keputusan yang diambil harus sesuai dengan norma umum, baik asas kemanfaatan maupun asas kepatutan dengan tetap menjaga good governance dalam pengambilan keputusan.