ANGGOTA Komite III DPD, Evi Zainal, mengatakan DPD siap beradu gagasan dengan Baleg DPR dalam pembahasan RUU Cipta Kerja.
“Statement yang dilontarkan DPD bukan sesuatu yang berbau prematur. Namun, menunjukkan kesiapan DPD secara materi terhadap pembahasan RUU Cipta Kerja,” ujar Evi dalam keterangannya, kemarin.
Evi mengatakan pandangan Komite III DPD RI terhadap RUU Cipta Kerja berdasarkan penyerapan aspirasi daerah dan masyarakat saat reses pada Februari 2020. “Selama masa reses, kami mendapatkan beragam aspirasi dari beberapa komponen daerah dan masyarakat, serta kalangan akademisi,” ujarnya.
Dari penyerapan aspirasi itu, lanjut Evi, ditemukan sejumlah masalah. Secara subtansi, RUU Cipta Kerja dinilai mengembalikan asas sentralistik dalam bernegara. Terhadap hal itu, DPD memiliki keterkaitan yang sangat kuat, yang mana urusan tentang otonomi daerah merupakan salah satu kewenangan DPD yang diamanatkan konstitusi.
“Jangan sampai RUU Cipta Kerja ini hanya dominan dalam peningkatan investasi saja tanpa mempertimbangkan aspek perlindungan lingkungan hidup, hak-hak pekerja, asas desentrali sasi, dan aspek lainnya sebagai pertimbangan filosofi dari undang-undang yang akan terkena dampak pencabutan nantinya,” ujarnya.
Terkait tudingan RUU Cipta Kerja sebagai cara mempermudah masuknya tenaga kerja asing (TKA), dosen Universitas Padjajaran Bandung, Rully Chairul Anwar, menepisnya.
Menurut aktivis Forum Kajian Informasi dan Literasi Sosial Budaya Unpad itu, RUU Cipta Kerja mempermudah birokrasi perizinan TKA. Akan tetapi, untuk sektor dengan skill tertentu atau belum memiliki tingkat keahlian sesuai kebutuhan.
“RUU Ciptaker bukan karpet merah untuk para tenaga kerja asing. RUU Ciptaker hanya untuk mempermudah birokrasi para TKA dengan skill tertentu dan bukan untuk semua TKA,” kata Rully melalui keterangan pers tertulisnya yang diterima pada Senin (20/4) malam.
Menurut Rully, pasal yang dicurigai sebagai karpet merah TKA ialah Pasal 89 RUU Ciptaker yang mengubah atau menghapus beberapa ketentuan dalam UU/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dengan aturan tersebut, dikhawatirkan akan terjadi invasi tenaga kerja asing sehingga Indonesia dibanjiri pekerja asing yang menggusur posisi pekerja Indonesia.
Masyarakat
Pandangan positif juga dilontarkan Kepala Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Yose Rizal Damuri. Yose menilai RUU ini bisa meningkatkan mutu tenaga kerja.
“Pekerjaan berkualitas itu jarang sekali dinikmati pekerja. Walaupun kita punya salah satu undang-undang atau aturan ketenagakerjaan yang paling restriktif di dunia, itu ternyata tidak menjamin pekerja mendapatkan pekerjaan yang berkualitas,” ujarnya, kemarin.
Sebelumnya, Guru Besar Statistika IPB, Khairil Anwar Notodiputro, mengatakan hasil survei menyatakan 82% para pekerja dan pencari kerja setuju bahwa RUU Omnibus Law ditujukan untuk memperbaiki regulasi yang menghambat investasi. “RUU juga mempermudah perizinan berusaha (90,2% setuju) serta mempermudah pendirian usaha untuk usaha mikro dan kecil (UMK) (86,4% setuju),” katanya.
Sementara itu, pengamat politik Emrus Sihombing mengingatkan jika RUU Cipta Kerja dinilai sebagai sebagai solusi pascapandemi, harus melibatkan semua elemen masyarakat. “Prinsip demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, dan bersama-sama rakyat,” ujarnya.
Adapun masa pembahasan, Emrus berharap RUU ini dilakukan ketika pandemi covid-19 sudah bisa dikendalikan pemerintah.