Bank Indonesia mencatat adanya lonjakan transaksi uang elektronik hingga 64,48 persen (yoy) pada April 2020, dengan nilai mencapai Rp 17,5 triliun. Lonjakan tersebut diikuti pertumbuhan transaksi perbankan secara digital (digital banking) yang tumbuh 37,35 persen (yoy). Namun, di sisi lain, pertumbuhan penggunaan uang kartal justru negatif 6,06 persen dibanding tahun lalu. Menanggapi hal ini, Anggota Komisi XI DPR RI Puteri Anetta Komarudin mendorong Pemerintah bersama Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) segera mempertimbangkan perluasan cakupan penjaminan dana masyarakat yang disimpan dalam bentuk uang elektronik.
“Pandemi telah mendorong masyarakat untuk lebih sering melakukan transaksi keuangan secara digital. Namun sayangnya, infrastruktur perlindungan atas transaksi keuangan elektronik belum maksimal. Salah satu contohnya adalah belum dilindunginya simpanan dana masyarakat pada penerbit uang digital, baik perbankan maupun non-perbankan. Hal ini yang harus kita dorong, demi memberikan perlindungan dan keamanan bertransaksi bagi masyarakat,” kata Puteri dalam siaran persnya kepada Parlementaria, Rabu (24/6/2020).
Sebagai informasi, penyelenggaraan uang elektronik diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik. Peraturan tersebut mewajibkan 30 persen dana yang mengendap pada dompet digital atau dana float ditempatkan pada Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) IV, dan 70 persen dari dana float ditempatkan pada surat berharga yang diterbitkan pemerintah atau pada rekening di BI. LPS pun menyampaikan bahwa penjaminan atas simpanan uang elektronik masih dalam tahap kajian terutama terkait dengan keamanan transaksi dan dampak sosial yang ditimbulkan. LPS juga menyebutkan bahwa akan berkolaborasi dengan Pemerintah serta regulator terkait seperti BI dan OJK.
“Penjaminan uang elektronik tengah menjadi perhatian global. Hampir seperlima dari lembaga penjamin simpanan di dunia telah mengadopsi skema penjaminan. Di Indonesia sendiri, urgensi perlindungan atas simpanan uang elektronik masyarakat semakin hari semakin masif, karena berbanding lurus dengan peningkatan jumlah transaksinya. LPS perlu mempertimbangkan untuk memperluas cakupan penjaminannya sehingga dana masyarakat dapat terjamin keamanannya. LPS juga perlu segera merampungkan kajiannya dan menciptakan skema penjaminan yang relevan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat,” tutur politisi Partai Golkar itu.
Positifnya, peningkatan transaksi uang elektronik berarti juga mendorong tingkat inklusi keuangan nasional. Menurut data Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) OJK tahun 2019, indeks akses terhadap produk dan layanan jasa keuangan (inklusi keuangan) mencapai 76,10 persen atau telah memenuhi target yang dicanangkan pemerintah melalui Perpres Nomor 82 Tahun 2016 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI). Sementara, Bank Dunia mencatat Indonesia mencapai persentase kenaikan kepemilikan rekening bank tertinggi di kawasan Asia Pasifik pada 2018, di mana 49 persen populasi telah memiliki rekening bank.
“Pertumbuhan keuangan digital yang cepat dan masif dalam beberapa tahun terakhir telah memosisikan Indonesia sebagai growing market bagi berbagai inovasi layanan jasa keuangan digital. Di satu sisi, hal ini merupakan potensi yang perlu Pemerintah gali untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi yang sempat terjatuh akibat pandemi. Namun, pemerintah dan otoritas terkait juga harus segera mempersiapkan kerangka regulasi dan infrastruktur yang sistematik dan menyeluruh untuk menjamin kepastian hukum, serta memberi perlindungan dan keamanan bagi konsumen,” tutup legislator dapil Jawa Barat VII itu.