Wacana penerapan Pilkada Asimetris di Indonesia yang sebelumya diusulkan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, menuai pro kontra.
Anggota Komisi II Dewan Perwakikan Rakyat Daerah (DPR) Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Teddy Setiadi menilai Indonesia belum siap menggunakan skema Pilkada Asimetris. Pasalnya, banyak hal yang perlu dipertimbangkan dan disiapkan untuk memakai skema tersebut.
"Intinya banyak masyarakat yang belum siap. Selain itu, banyak hal lain yang perlu dipersiapkan untuk memakai skema tersebut," imbuh Teddy dalam keterangannya, Kamis, (25/6/2020).
Teddy mengatakan, bahwa selama ini baik pemerintah, penyelenggara pemilu, maupun peserta pemilu sendiri belum maksimal dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, sehingga polarisasi masyarakat karena perbedaan pilihan politik semakin dalam.
"Itulah yang yang menjadi alasannya. Pertama yang perlu dievaluasi adalah pendidikan politik kita masih rendah. Saya bertanya, upaya pendidikan politik yang sudah dilakukan oleh pemerintah dan penyelenggara pemilu seperti apa? Kemudian, pengawasan kepada peserta pemilu bagaimana?," katanya.
Kemudian, sisi lain sistem dan polarisasi poitik di Indonesia masih belum sehat. Nyatanya masih banyak terjadi money politic, black campaign dan masalah sosial lainnya pun banyak dijumpai.
“Selama ini peserta pemilu juga mendidik para pemilih dengan pendidikan politik yang tidak baik, seperti ;money politic, black campaign dan upaya-upaya tidak baik lainnya kepada masyarakat," ujar dia.
Oleh karena itu, sebelum menerapkan skema Pilkada Asimetris tersebut, pemerintah perlu mengambil tindakan memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, sehingga Pilkada Asimetris benar-benar patut diterapkan di Indonesia.
Menurutnya, ini perlu dilakukan agar kekhawatiran berubahnya bentuk kecurangan yang terjadi dalam pilkada langsung maupun tidak langsung dapat diantisipasi, bukan sebagai upaya untuk menguntungkan kelompok-kelompok tertentu.
Ia melihat, selama ini masyarakat ingin ikut andil dalam menentukan pemimpin atau perwakilannya tetapi karena pendidikan politik yang tidak baik dari peserta pemilu masyarakat sendiri yang menjadi korban.
"Jadi kalau suatu daerah dinilai kurang siap untuk pemilu langsung mau sampai kapan dibiarkan tidak siap? Jangan-jangan nanti akan dibiarkan terus supaya menguntungkan segelintir orang. Itu yang menurut saya harus dievaluasi," pungkasnya.
Sebagaimana diketahui dalam wacana pilkada asimetris ini nantinya memungkinkan adanya perbedaan pelaksanaan mekanisme pilkada antar daerah.
Perbedaan tersebut muncul karena kekhususan aspek administrasi, budaya, ataupun aspek strategis lainnya.
Pemilihan langsung hanya akan digelar di daerah yang dinilai siap secara Indeks Pembangunan Manusia, kemampuan fiskal, dan kondisi sosial masyarakat.
Sementara daerah yang dinilai kurang siap maka dilakukan pemilu tidak langsung. Wacana Pilkada Asimetris ini sebelumnya diusulkan Mendagri, Tito Karnavian. Meski begitu, pihak Kemendagri masih mengkaji soal wacana tersebut.