Anggota Komisi II DPR RI Mardani Ali Sera menilai dinasti politik sangat buruk bagi perkembangan demokrasi di sebuah negara. Karenanya ia pun menilai harus ada regulasi yang jelas guna mencegah terjadi dinasti politik dalam sebuah negara. Selain itu, ia juga berpandangan bahwa seorang pemimpin harus memiliki track record dalam memimpin publik, sehingga ada pembelajaran secara mental dan kemampuan dalam mengelola publik.
“Terkait dinasti politik, kami berpandangan ini buruk untuk demokrasi. Ini bagian dari residu demokrasi. Benar bahwa negara lain juga ada dinasti politik,” ujar Mardani dalam diskusi Forum Legislasi di Media Center DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (28/7/2020). Turut hadir Wakil Ketua Komisi II DPR RI Saan Mustopa, Anggota Komisi II DPR RI Zulfikar Arse Sadikin, dan Direktur Eksekutif Perluden Titi Anggraini sebagai pembicara.
Secara lebih spesifik, ia pun menilai seorang pemimpin harus punya perjuangan politik dari bawah sebelum mengampu tongkat kepemimpinan. Seperti yang dilakukan oleh Ketua DPR RP Puan Maharani saat ini misalnya memulai karir politik sejak menjabat sebagai Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bapilu) PDI-Perjuangan Jawa Tengah, lalu terus berlanjut hingga kini menjadi Ketua DPR RI periode 2019-2024..
“Saya puji Bu Puan Maharani, sebelum jadi Ketua DPR itu karirnya mulai dari bawah. Sempat mulai dari Ketua Bapilu Jateng, lalu maju sebagai Anggota DPR, lalu jadi menteri dan menjadi Ketua DPR, itu dari bawah,” jelas politisi Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) ini.
Menurut Mardani, pengalaman adalah kunci sukses atau tidaknya seseorang memimpin sebuah daerah. Menjadi bahaya jika proses menjadi pemimpin dilakukan dengan cara instan. “Yang tidak tepat itu ketika prosesnya instan lalu tiba-tiba maju sebagai calon kepala daerah. Padahal kalau bisa itu merangkak dari bahwa seperti Ketua RT, RW, Karang Taruna, KNPI yang asalnya dari bawah, jadi ada pengalaman mengurus publik,” jelas Mardani.
Mardani menambahkan, pengalaman mengurus publik ini akan melatih mental seseorang. Jangan sampai dinasti politik ini menihilkan unsur pengalaman seseorang dalam mengelola urusan publik, sehingga ini memerlukan koreksi terhadap Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) yang akan datang.