KEWENANGAN penyadapan yang masuk dalam RUU tentang Perubahan atas UU No 16/2004 tentang Kejaksaan, nilai berada dalam posisi yang salah karena terletak pada tugas di bidang ketertiban dan ketentraman umum.
"Soal tata letak kewenagnan penyadapan, yang di dalam RUU ini ditaruh di dalam terkait dengan ketertiban umum, itu sangat luas dan sangat berbahaya," kata Anggota Badan Legislasi DPR RI Taufik Basari dalam Rapat Panja Pengharmonisasian RUU Kejaksaan di Gedung DPR, Kamis (17/9).
Menurut Taufik, kewenangan penyadapan harusnnya diletakan dalam konteks penegakan hukum. Dalam RUU Kejaksaan, kewenangan penyadapan terletak pada Pasal 30 Ayat (5) huruf g.
Di sana diatur tugas dan wewenang Kejaksaan di bidang ketertiban dan ketentraman umum untuk melakukan penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan guna mendukung kegiatan dan kebijakan penegakan hukum, yakni penyadapan dan menyelenggarakan pusat monitoring.
"Kalau di timbum (ketertiban umum) itu semua orang bisa disadap dengan alasan ingin mengetahui gerak-gerik seseorang, menguntit dan sebagainya," jelas politisi Partai NasDem tersebut.
Lebih lanjut, Taufik menyarankan agar kewenangan penyadapan dalam RUU Kejaksaan ditunda terlebih dahulu. Pasalnya, RUU tentang Penyadapan sendiri belum ada sampai saat ini.
Dalam hal ini, Taufik merujuk pada beberapa putusan Mahkamah Konsititusi yang menurutnya konsisten terhadap maslaah penyadapan.
"Bahwa penyadapan itu menurut Mahkamah Konsitusi memang perbuatan, tindakan yang sejatinya adalah hal yang melawan hukum karena melanggar hak privacy, melanggar hak asasi manusia. Boleh saja dibatasi, tapi harus UU," terang Taufik.
Dalam rapat harmonisiasi tersebut, tim ahli memaparkan bahwa dari aspek substansi, ada 17 poin yang perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut. Salah satunya mengenai definisi Jaksa yang disebutkan dua kali dalam Pasal 1 di angka 1 dan 4.
Sementara itu, RUU Kejaksaan dinilai telah memenuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan meskipun diperlukan penyempurnaan.