Komisi Kepemiluan (Komisi II) DPR masih membuka opsi untuk membahas penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), meski sudah disepakati Pilkada 2020 tetap digelar pada 9 Desember 2020 dengan menerapkan disiplin dan sanksi hukum terhadap pelanggaran protokol kesehatan Covid-19.
Hal itu menyusul hasil kesimpulan rapat kerja/dengar pendapat Komisi II DPR dengan Mendagri, KPU, Bawaslu dan DKPP di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (21/9/2020), pada point 2 huruf f berisi pengaturan rekapitulasi hasil pemungutan suara melalui e-rekap.
Menurut anggota komisi II DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Mardani Ali Sera, point tersebut tidak bisa diatur melalui revisi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2020 tentang Perubahan atas PKPU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pilkada dalam Kondisi Bencana Non Alam.
Point revisi PKPU ini juga merupakan point 2 kesimpulan rapat kerja/dengar pendapat tersebut. "Point 2 huruf f ini bahaya pak Ketua. E-rekap itu diatur dengan Perppu," kata Mardani saat interupsi kesimpulan rapat melalui virtual, Senin, 21 September 2020.
Menanggapi pernyataan Mardani, pimpinan rapat sekaligus Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan usulan penerbitan Perppu Pilkada akan dibahas setelah pelaksanaan Pilkada 9 Desember 2020. "E-rekap itu kan di akhir tahapan. Rapat ini bukan yang terakhir, nanti kita bahas lagi," kata Doli.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP) Syamsurizal mengimbuhkan komisinya menyetujui pilkada serentak tetap digelar pada 9 Desember dengan tidak menerbitkan Perppu karena pihaknya mendahulukan tahapan Pilkada yang sudah di depan mata.
Tahapan yang dimaksud Syamsurizal yakni pada 23 September 2020 merupakan jadwal penetapan dan pengambilan nomor urut pasangan calon (paslon) kepala daerah. Lalu pada 26 September 2020 dimulainya tahapan kampanye Pilkada. Sementara, lanjut dia, pihaknya tidak ingin Pilkada 2020 menjadi klaster baru penyebaran Covid-19.
"Sebelum kampanye ini dimulai, itu didukung PKPU kan untuk urusan pencabutan nomor urut paslon dan kampanye. Karena kita ingin semuanya itu terlepas dari apa yang dituduh akan terjadi klaster baru di Pilkada dengan konsep itu," kata Syamsurizal.
Sementara itu, Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Golkar, Zulfikar Arse Sadikin, mengatakan tidak akan terjadi kekosongan hukum jika tetap menggelar atau menunda Pilkada 9 Desember 2020. Pasalnya, dalam UU Pilkada sudah diatur penegakan disiplin dan sanksi hukum bagi pelanggar protokol kesehatan Covid-19.
Dengan demikian, kata Zulfikar, Presiden tidak perlu menerbitkan Perppu Pilkada. "Masih banyak alternatif yang bisa dilakukan hanya dengan merevisi PKPU," kata Zulfikar.
Mendagri Tito Karnavian sependapat dengan Zulfikar. Bahkan ia mendesak revisi PKPU tersebut sudah selesai dibuat sebelum tahapan kampanye Pilkada dimulai pada 26 September 2020. "Percepatan revisi PKPU secepat mungkin sebelum 26 September masa kampanye," kata Mendagri.