Sidang kasus PT Asuransi Jiwasraya (Persero) terus menuai sorotan anggota Anggota Komisi III DPR. Salah satunya soal encana kehadiran nasabah WanaArtha dalam vonis PT Asuransi Jiwasraya (Persero) pada Senin 12 Oktober 2020 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Hal itu menurut Anggota Komisi III DPR RI Wihadi Wiyanto salah alamat. Karena masalah hukum Jiwasraya tidak serta merta berkaitan dengan kasus gagal bayar asuransi WanaArtha Life. “Seharunya mereka mempertanyakan kepada manajemen WanaArtha dong, masa ke hakim?” kata Wihadi saat dihubungi, Minggu (11/10).
Menurut Wihadi, gagal bayar WanaArtha sebenernya sudah dijawab oleh pihak Kejaksaan Agung yang tengah menangani kasus Jiwasraya. Meski ada saham salah satu terdakwa Jiwasraya di WanaArtha, tidak menjadi alasan WanaArtha tidak memenuhi kewajibannya kepada nasabah, dan ia yakin hakim yang memutus kasus Jiwasraya pun tidak akan bisa diintervensi.
“Ini seperti mereka cari kesempatan buat tidak bayar nasabahnya. Pengaruhnya apa datang-datang ke pengadilan pada saat sidang vonis? Enggak nyambung juga. Hakim jelas independensinya, tidak mungkin bisa diintervensi,” tegas Wihadi.
Selain itu, Wihadi menyarankan, sebaiknya para nasabah itu melaporkan manajemen WanaArtha ke pihak berwajib, ketimbang hadir langsung dalam diang vonis enam terdakwa Jiwasraya.
Sementara itu, Anggota Komisi III DPR RI Trimedya Panjaitan menyebutkan, apa yang dilakukan pihak WanaArtha ibarat permainan para mafia yang berkelindan di lingkaran yang sama. Menurut dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) nasabah seharusnya mempertanyakan soal dana tersebut ke pemilik WanaArtha.
“Masa ke hakim. Ya tidak masalah jika itu jalan untuk memperjuangkan hak mereka. Tapi paling benar itu tuntutan ditujukan ke pemilik WanaArtha. Kalau saya lihat katanya, pengusaha-pengusaha ini yang masih sindikat yang sama juga. Ini jadi lingkaran mafia di sini (sektor bisnis keuangan),” kata Trimedya.
Menyinggung soal sidang vonis dugaan korupsi dan pencucian uang Jiwasraya, Trimedya menegaskan jika hukuman maksimal sebisa mungkin dijatuhkan oleh hakim kepada para terdakwa Jiwasraya. Hukuman maksimal itu termasuk dalam memiskinkan mereka dengan menyita seluruh asetnya dan menyelematkan keuangan negara.
Diketahui, dalam kasus Jiwasraya, pihak Kejaksaan Agung telah menetapkan enam tersangka yaitu Dirut PT Hanson International Benny Tjokro, Heru Hidayat Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera, Direktur PT Maxima Integra Joko ‘Panda’ Hartono Tirto, Dirut PT Asuransi Jiwasraya 2008 – 2018 Hendrisman ‘Chief’ Rahim, Direktur Keuangan Jiwasraya Januari 2008 – 2018 Hary ‘Rudy’ Prasetyo dan mantan Kadiv Investasi dan Keuangan Jiwasraya Syahmirwan alias Mahmud. Selain itu Kejaksaan Agung telah menetapkan 13 manajer investasi dalam kasus gagal bayar PT Jiwasraya sebagai tersangka.
“Hukuman maksimal itu harus seluruhnya. Mereka kalau di hukum 20 tahun yang ya bisa dibilang hukuman seumur hidup juga. Yang jadi fokus seharusnya pengembalian kerugian negara. Miskinkan mereka sampai kere, dan ini mencerminkan keadilan bagi jutaan nasabah Jiwasraya,” ungkapnya.
Sebelumnya, dalam pemaparan tanggal 26 September 2020, Jaksa Muda Pidana Khusus Ali Mukartono menyampaikan bahwa Wanaartha Life sudah mengalami gagal bayar sejak Oktober 2019. Kejagung juga menyatakan bahwa Wanaartha Life tidak pernah memberikan klarifikasi ataupun meresponi panggilan dari Kejagung untuk memberikan klarifikasi.
Ali menegaskan pemblokiran sekitar 800 SRE saham milik WanaArtha bukan menjadi penyebab perusahaan asuransi itu gagal bayar. Namun, rekening yang disita khusus untuk saham dan reksa dana milik Benny Tjokro, Direktur Utama PT Hanson International Tbk. yang telah menjadi terdakwa untuk kasus gagal bayar Jiwasraya, ia adalah satu dari enam terdakwa kasus dugaan tindak pidana korupsi Jiwasraya.