Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) menilai, di usianya yang ke-75 tahun, Tentara Nasional Indonesia (TNI) telah mencatatkan berbagai prestasi dan tumbuh menjadi institusi yang sangat dipercaya rakyat.
Berdasarkan survei Indo Barometer pada Februari 2020, Cyrus Network pada Maret 2020, dan Charta Politika pada Juli 2020, TNI selalu menempati posisi teratas sebagai institusi/lembaga yang paling solid dan paling dipercaya rakyat.
Terbaru, berdasarkan survey Indikator pada 18 Oktober 2020, TNI kembali mendapatkan kepercayaan publik sebagai lembaga/institusi yang paling dipercaya publik dengan capaian angka sebesar 89,9 persen.
“Berbagai hasil survei tersebut membuktikan dua hal. Pertama, bahwa TNI mempunyai tempat istimewa di hati rakyat. Kedua, TNI konsisten menjaga performa dan kinerjanya sehingga tetap mendapatkan kepercayaan rakyat,” ujar Bamsoet dalam Webinar Pasukan Elite 3 Matra TNI dan Empat Pilar MPR RI dalam rangka memperingati Hari Kesaktian Pancasila dan HUT ke-75 TNI, secara virtual dari Ruang Kerja Ketua MPR RI, Jakarta, Rabu (21/10).
Turut hadir secara virtual antara lain Rektor Universitas Pertahanan Laksamana Madya TNI Dr. Amarulla Octavian, Komandan Jenderal Kopassus Mayor Jenderal TNI M. Hasan, Komandan Korps Marinir Mayor Jenderal TNI (Mar) Suhartono, M.Tr (Han), dan Komandan Korps Pasukan Khas Marsekal Muda TNI Eris Widodo Y., M.Tr. (Han), serta Ketua Ikatan Alumni Universitas Pertahanan Brigjen TNI Agus Winarna, S.IP., M.Si., M.Tr (Han).
Ketua DPR RI ke-20 ini menjelaskan, di dalam tubuh TNI juga terdapat pasukan elit dari tiga matra yang menjadi kebanggaan bangsa dan negara. Ketiganya menjadi sumberdaya dan aset unggulan TNI yang tidak hanya teruji dari kemampuan olah fisik dan olah pikir, tetapi juga karakter yang kuat sebagai patriot bangsa.
“Lebih membanggakan lagi, pasukan elit yang dimiliki TNI tidak hanya memiliki kemampuan tempur yang disegani dunia, melainkan juga mampu melaksanakan berbagai tugas berat lainnya. Mulai dari operasi pembebasan sandera dengan kompleksitas resiko yang tinggi, hingga evakuasi korban di medan lapangan yang sulit dan ekstrem,” jelas Bamsoet.
Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini mengingatkan, berbagai torehan prestasi tersebut jangan membuat terlena. Karena ke depan, tantangan yang dihadapi akan semakin kompleks dan bersifat multidimensi. Peningkatan kapasitas dan kompetensi pasukan khusus dalam menjawab tantangan zaman juga harus menjadi sebuah upaya berkesinambungan, sehingga tidak berhenti pada satu titik pencapaian.
Karena, kata Bamsoet, dewasa ini dinamika lingkungan strategis global diwarnai kompetisi dan perebutan pengaruh negara-negara besar, yang telah menempatkan Indonesia pada pusat kepentingan global. Besarnya jumlah penduduk dengan tingkat kemajemukan dan heterogenitas yang tinggi, ditambah posisi geografis yang strategis dan kondisi sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, menempatkan Indonesia sebagai center of gravity komunitas global.
“Ini menjadikan Indonesia dalam posisi rentan dan rapuh terhadap pengaruh dan infiltrasi asing,” ujar Bamsoet.
Bamsoet juga menegaskan, jika tidak siap dan waspada, bangsa Indonesia bisa tergilas dalam kompetisi global yang tak mengenal batas dan waktu. Sebab, berbaurnya ancaman militer dan non-militer mendorong terciptanya dilema geopolitik dan geostrategis global yang sulit diprediksi dan diantisipasi.
Belum lagi, soal konsepsi mengenai keamanan nasional telah mengalami pergeseran paradigma, di mana ancaman terhadap keamanan nasional tidak lagi bersifat kasat mata dan konvensional. Tetapi, bersifat kompleks, multidimensional, serta berdimensi ideologis.
Ancaman yang bersifat ideologis tersebut hadir dalam beragam fenomena. Antara lain berkembangnya sikap intoleransi dalam kehidupan masyarakat, tumbuhnya radikalisme dan terorisme, munculnya sikap disintegrasi hingga separatisme, serta beragam bentuk ancaman lainnya yang menggerus sendi-sendi persatuan dan kesatuan bangsa.
“Melalui derasnya arus globalisasi yang menembus batas-batas teritorial, ancaman ideologis tersebut semakin terasa nyata,” tegas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum SOKSI ini menerangkan, kekhawatiran ini bukan mengada-ada. Survey CSIS mencatat ada sekitar 10 persen generasi milenial yang setuju mengganti Pancasila dengan ideologi yang lain. Selanjutnya dalam survey yang dilakukan pada akhir Mei 2020 oleh Komunitas Pancasila Muda, dengan responden kaum muda dari 34 provinsi, tercatat hanya 61 persen responden yang merasa yakin dan setuju bahwa nilai-nilai Pancasila sangat penting dan relevan dengan kehidupan mereka. Sementara 19,5 persen bersikap netral, dan 19,5 persen lainnya menganggap Pancasila hanya sekedar nama yang tidak dipahami maknanya.
“Sebelumnya, survei LSI Tahun 2018 juga mencatat bahwa dalam kurun waktu 13 tahun masyarakat yang pro terhadap Pancasila telah mengalami penurunan sekitar 10 persen, dari 85,2 persen pada tahun 2005 menjadi 75,3 persen pada tahun 2018,” terang Bamsoet.
Bamsoet juga menekankan, hadirnya berbagai ancaman terhadap ideologi bangsa tidak dapat direspon dengan cara konvensional. Semisal memperkuat kekuatan militer dan persenjataan, atau membangun benteng-benteng pertahanan fisik untuk memagari wilayah Nusantara. Di sinilah pentingnya membangun benteng ideologi.
Karena itu, lanjutnya, setiap warga negara yang tinggal di setiap wilayah Nusantara harus menjadi bagian NKRI. Pemerataan dan distribusi kesejahteraan harus menjadi prioritas pembangunan berkelanjutan. Paradigma dalam memandang wilayah perbatasan harus diubah, bukan lagi sebagai wilayah ‘terluar’, tetapi wilayah ‘terdepan.
“Ingat semangat nasionalisme tidak hanya dibangun melalui slogan, melainkan di implementasikan dalam tindakan nyata,” pungkas Bamsoet.