Perubahan draf final Omnibus Law Cipta Kerja masih terus terjadi meski produk legislasi itu sudah disahkan lebih dari dua pekan lalu. Pakar menilai ada penunggang kepentingan di balik perubahan draf UU usulan Presiden Joko Widodo itu.
Saat disahkan oleh pemerintah dan DPR, Senin (5/10), draf Omnibus Law UU Cipta Kerja berjumlah 905 halaman. Empat hari setelahnya, draf itu bertambah hingga setebal 1.062 halaman.
Jumlah ketebalan undang-undang itu berubah lagi pada Senin (12/10). Saat pagi hari, Sekjen DPR RI Indra Iskandar menyebut naskah saat itu setebal 1.035 halaman. Tak sampai 24 jam, ketebalan kembali berkurang jadi 812 halaman.
Indra menyebut perubahan jumlah halaman di draf final UU Ciptaker, dari 1.035 halaman menjadi 812 halaman terjadi karena penggantian dari ukuran A4 menjadi legal.
"Iya, dengan format [kertas] legal maka jadi 812 halaman," kata Indra lewat pesan singkat kepada CNNIndonesia.com, Senin (12/10) malam.
Sementara Wakil Ketua DPR RI Aziz Syamsuddin melangkah lebih jauh dengan menyatakan sumpah tidak ada pasal selundupan dalam draf 812 halaman yang akan dikirim ke Presiden Jokowi.
"Saya jamin, sesuai sumpah jabatan saya dan seluruh rekan di sini, tentu kami tidak berani dan tak akan masukan selundupan pasal. Karena apa, itu merupakan tindak pidana apabila ada selundupan pasal," kata Aziz dalam konferensi pers di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Selasa (13/10).
Ucapan Aziz sempat meredakan spekulasi perihal pasal selundupan dalam draf final Omnibus Law. Namun, spekulasi itu kembali muncul setelah perubahan draf terjadi lagi saat UU tersebut diterima Istana.
Yang pertama kali mengungkap perubahan draf ini adalah perwakilan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan PP Muhammadiyah. Keduanya mengaku dapat naskah Omnibus Law Cipta Kerja setebal 1.187 halaman pada Kamis (22/10).
Menteri Sekretaris Negara Pratikno menegaskan isi naskah Omnibus Law UU Cipta Kerja yang disiapkan Kemensetneg sebanyak 1.187 halaman, sama dengan yang disampaikan DPR kepada Presiden Joko Widodo. Versi DPR adalah naskah final 812 halaman.
"Substansi RUU Cipta Kerja dalam format yang disiapkan Kemensetneg (1.187 halaman) sama dengan naskah RUU Cipta Kerja yang disampaikan DPR kepada presiden," ujar Pratikno melalui pesan singkat kepada wartawan, Kamis (22/10).
Kata Pratikno, perubahan jumlah halaman antara naskah final DPR dan pemerintah tak bisa menjadi indikator untuk mengukur kesamaan dokumen. Sebab, menurutnya, jumlah halaman bisa berbeda ketika diukur dengan ukuran kertas maupun ukuran huruf yang juga berbeda.
"Mengukur kesamaan dokumen dengan indikator jumlah halaman itu bisa misleading. Naskah yang sama, diformat pada ukuran kertas berbeda, dengan margin berbeda, dan font berbeda, akan menghasilkan jumlah halaman yang berbeda," jelasnya.
Sementara itu dalam penelusuran CNNIndonesia.com, ada penghapusan Pasal 46 UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dalam draf pemerintah setebal 1.187 halaman.
Pasal itu mengatur soal Badan Pengatur yang bertugas mengatur ketersediaan dan distribusi bahan bakar minyak dan gas bumi yang ditetapkan pemerintah pusat.
Penghapusan itu pun diakui Istana. Juru Bicara Presiden Bidang Hukum Dini Shanti Purwono. Dini beralasan penghapusan pasal dilakukan atas inisiatif pemerintah, sesuai dengan kesepakatan yang dicapai bersama DPR pada masa pembahasan di tahap panitia kerja (Panja) Omnibus Law Cipta Kerja.
Tahapan panja itu terjadi sebelum pengesahan. Dini bilang pada tingkat panja, DPR dan pemerintah sepakat menghapus Pasal 46 UU Mintak dan Gas Bumi. Namun dalam draf 812 halaman yang dikirimkan DPR, ternyata pasal itu abai dihapus.
Atas dasar itulah, kata Dini, pemerintah menghapus Pasal 46 mengatakan penghapusan pasal dilakukan untuk perbaikan administratif seperti typo atau salah ketik kembali ke aturan yang tercantum dalam UU sebelumnya.
"Intinya pasal 46 tersebut memang seharusnya tidak ada dalam naskah final karena dalam rapat panja memang sudah diputuskan untuk pasal tersebut kembali ke aturan dalam UU existing," tutur Dini lewat pesan singkat kepada wartawan, Jumat (23/10).
Perubahan jumlah halaman dan penghapusan pasal itu kontak menuai kritik dari masyarakat sipil.
Analis kebijakan publik Universitas Trisakti menilai ada pihak-pihak berkepentingan yang mencampuri proses perumusan yang berujung perubahan draf setelah disahkan.
"Itu yang menjadi drafnya berubah-ubah terus karena banyak kepentingan di situ. Saya melihat banyaknya free rider, penunggang-penunggang oknum tertentu yang bermain di pasal-pasal," kata Trubus kepada CNNIndonesia.com, pekan lalu.
Trubus menyebut hal itu berdampak pada pelanggaran terhadap aspek transparansi dan akuntabilitas. Seharusnya, kata dia, undang-undang dirumuskan secara transparan dengan melibatkan publik.
Lebih jauh dia menyebut bahwa perubahan pasal Omnibus Law Cipta Kerja berpotensi melanggar pidana. Pasal 264 KUHP mengatur hukuman pidana bagi orang yang memalsukan sejumlah surat otentik.
"Bisa pidana ini. Tidak boleh ada perubahan massal setelah disahkan," ujarnya.
Trubus menyampaikan kisruh draf akhir Omnibus Law UU Cipta Kerja juga mengakibatkan cacat formil. Terlebih, selama perumusan UU ini sudah bermasalah soal keterlibatan publik.
Sementara itu pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menyatakan penghapusan 1 pasal dalam Omnibus Law Cipta Kerja usai disahkan dalam sidang paripurna DPR menunjukkan bahwa UU tersebut telah cacat prosedural dan membuatnya menjadi tidak sah.
Meski tidak sah, ia menyebut pembatalan UU itu tetap harus membutuhkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu).
"Secara prosedural ini sudah cacat hukum, cacat prosedural dan membuatnya menjadi tidak sah," kata Bivitri saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (23/10).