Ketua DPRD Kuningan Nuzul Rachdy direkomendasikan untuk turun dari jabatannya sesuai dengan hasil putusan sidang kode etik yang dilakukan Badan Kehormatan (BK) DPRD Kuningan.
Dalam putusan itu BK menyatakan Nuzul Rachdy terbukti melanggar pasal 14 angka 2 peraturan DPRD Kuningan nomor 2 tahun 2018 tentang kode etik DPRD (Putusan A Qua Terlampir).
Menanggapi hal itu Nuzul Rachdy mengatakan belum menerima langsung kutipan hasil keputusan BK. Ia mengaku baru melihat tembusan keputusan tersebut yang disampaikan BK kepada fraksi partainya yakni PDI Perjuangan.
Ia pun menganggap keputusan BK adalah hal yang rancu. Pasalnya, kata dia, dalam keputusan tersebut hanya ada dua poin yakni menyatakan Nuzul terbukti melanggar kode etik dan menjatuhi sanksi sedang.
"Dilihat dari putusan itu saya rasa rancu, saya dijatuhi hukuman apa, yang ada dalam putusan saya lihat di fraksi yaitu sanksi sedang. Sanksi sedang itu bagaimana," kata Nuzul saat dihubungi melalui sambungan telepon Rabu (4/11/2020).
Selain itu Nuzul juga mempertanyakan rekomendasi penurunan dirinya dari jabatan Ketua DPRD yang dikeluarkan BK. Pasalnya rekomendasi tersebut tidaklah termasuk dalam keputusan hasil sidang yang dilakukan.
"Rekomendasi itu tidak termasuk dalam putusan, hanya surat rekomendasi yang terpisah dari surat keputusan. Kalau saya mengacunya pada surat keputusan yang memberikan saya sanksi sedang itu," lanjutnya.
Terpisah, pakar hukum tata negara Prof I Gede Pantja Astawa menilai keputusan yang dikeluarkan BK DPRD Kuningan terhadap Nuzul Rachdy secara hukum dianggap batal.
Pasalnya, kata I Gede, Nuzul Rachdy sebagai teradu tidak hadir dalam pembacaan putusan sidang kode etik yang dilakukan BK DPRD Kuningan pada Senin (2/11) kemarin.
"Kalau putusan BK dibacakan tanpa kehadiran teradu itu berarti batal demi hukum. Kenapa, karena kalau dibandingkan dengan peradilan pada umumnya, tiap putusan harus dihadiri oleh terdakwa. Bahkan, saat membuka persidangan, hakim harus mengatakan sidang terbuka untuk umum, kalau tidak diucapkan bisa batal persidangan," ungkap Prof I Gede.
Oleh sebab itu kata dia, BK DPRD Kuningan seharusnya menunda dulu sidang pembacaan putusan sampai pihak teradu dalam hal ini Nuzul Rachdy hadir dalam persidangan.
Terkait dengan rekomendasi yang diberikan BK DPRD Kuningan, I Gede menegaskan BK tidak miliki kewenangan untuk memberhentikan jabatan ketua dewan.
"Seharusnya gubernur yang memberhentikan, sehingga ini sangat fatal. Mengapa BK menjatuhkan sanksi sedang? Karena mereka terikat peraturan DPRD, harusnya peraturannya direvisi," pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, Badan Kehormatan (BK) DPRD Kuningan merekomendasikan Ketua Dewan Nuzul Rachdy turun dari jabatannya, buntut dari kasus dengan Ponpes Husnul Khotimah. Nuzul di hadapan media menyebut 'ponpes pembawa limbah' terkait klaster COVID-19 di Ponpes Husnul Khotimah. Rekomendasi tersebut merupakan keputusan sidang yang digelar BK, di mana keputusannya dilakukan hari ini, Senin (2/11/2020).
Wakil Ketua DPRD Kuningan Dede Ismail mengatakan Badan Kehormatan telah selesai menggelar sidang putusan dan menyatakan Nuzul Rachdy terbukti melanggar kode etik.
"Barusan BK melaporkan kepada kami pimpinan DPRD terkait hasil putusan sidang terakhir dengan teradu Ketua DPRD Kuningan Nuzul Rachdy. Hasil putusan BK saudara Nuzul Rachdy terbukti melanggar pasal 14 angka 2 peraturan DPRD nomor 2 tahun 2018 tentang kode etik DPRD (Putusan A Qua Terlampir)," kata Dede didampingi dua pimpinan lainnya yakni Ujang Kosasih dan Kokom Komariah.