FORUM Masyrakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) merilis hasil evaluasi kinerja DPR pada masa sidang tahun pertama. Hasilnya, selama masa sidang tahun pertama DPR mendapat nilai buruk terkait transparansi pembahasan Undang-Undang (UU) khususnya UU Cipta Kerja.
"DPR tidak membuka ruang secara luas bagi partisipasi publik dalam pembahasan sehingga memunculkan gelombang protes dan demonstrasi di berbagai daerah. Beberapa RDPU yang menghadirkan sejumlah kelompok untuk memberikan masukan ke DPR hanya merupakan partisipasi formalitas. Pembahasan pun dilakukan tergesa-gesa dalam waktu yang sangat singkat, bahkan di masa pandemi," kata Direktur Eksekutif Formappi, I Made Leo Wiratma, Kamis (5/11).
Padahal sebelumnya, Ketua DPR Puan Maharani yang menjanjikan proses pembahasan Undang-Undang Cipta Kerja bakal bersifat transparan. Namun Formappi menilai pernyataan Puan tersebut tidak terbukti. UU Cipta Kerja juga dibahas secara tergesa-gesa sehingga berdampak pada kualitas UU tersebut.
"Pembahasan yang tergesa-gesa tersebut tidak ideal dan tidak biasa atau abnormal. Situasi ini menimbulkan berbagai dugaan di masyarakat bahwa pengesahan beberapa RUU termasuk RUU Cipta Kerja sarat kepentingan politik dan ada pesan sponsor dari pengusungnya," ungkap Made.
Selain UU Ciptaker, Formappi juga mengkritik pembahasan UU lain yang dibahas dalam masa sidang pertama DPR. DPR terkesan hanya memprioritaskan pembahasan RUU yang seolah-olah dipesan oleh pemerintah seperti UU Minerba, KPK, dan MK.
"Pembahasan UU ini bisa menjadi contoh bagaimana dorongan kepentingan sepihak DPR dan Pemerintah. Seringnya pembahasan RUU kontroversial seolah-olah menjadi era normal baru bagi DPR," tuturnya.
Pembahasan RUU kontroversial tersebut disebutkan oleh Made berdampak pada keefektifan pembahasan RUU yang masuk dalam Prolegnas Prioritas. Tercatat, DPR hanya mampu menyelesaikan 2 RUU Prioritas, yakni RUU Bea Meterai dan RUU Cipta Kerja. Masih menyisakan 35 RUU prolegnas lain.
"11 RUU diantaranya RUU yang masih mungkin bisa diselesaikan DPR hingga akhir tahun karena sudah memasuki tahapan pembentukan, mulai dari penyusunan hingga pembahasan. Sedangkan 24 RUU Prioritas lainnya yang belum digarap sama sekali sangat sulit mengharapkan penyelesaiannya," tegasnya.