Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dipastikan bakal mendekam di jeruji besi. Hal itu setelah dirinya ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK terkait perizinan ekspor benur lobster 2020.
Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Nur Hidayati mengatakan, sejak awal kebijakan ekspor benih lobster atau benur ini telah ditolak banyak pihak dan dimintakan ke Edhy Prabowo selaku Menteri Kelautan dan Perikanan saat itu untuk tidak diteruskan.
“Tapi karena kemungkinan pada saat itu sang menteri punya kepentingan kuat atas kebijakan ekspor benur tersebut, maka penolakan dari banyak kalangan pun diabaikan. Ternyata terbukti bahwa Edhy Prabowo punya kepentingan dan tertangkap tangan oleh KPK,” ujar Hidayati kepada wartawan, Kamis (26/11).
Hidayati mengatakan, Edhy Prabowo juga bisa terindikasi menjadi bagian dari oligarki yang selama ini meraup keuntungan besar dari ekspor benur tersebut, ujung-ujungnya yang dikorbankan adalah sumber daya alam di Indonesia.
“Kami mengingatkan kembali kepada Presiden Jokowi bahwa kasus OTT Edhy Prabowo menjadi bukti bahwa kebijakan yang dibuat secara brutal dan ugal-ugalan membuktikan sarat kepentingan untuk kelompok-kelompok tertentu, termasuk para oligarki,” katanya.
Rantai penguasaan para oligarki sudah masuk sampai ke internal kementerian, bahkan bisa menjerat seorang menteri dan tidak menutup kemungkinan akan muncul jeratan ke menteri-menteri lainnya. Termasuk, UU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang disahkan 5 November lalu, juga adalah produk kebijakan yang secara proses dibuat secara brutal dan ugal-ugalan yang mengabaikan penolakan luar biasa dari publik.
“Tidak menutup kemungkinan UU Cipta Kerja ini akan bernasib sama dengan kebijakan ekspor benur yang dikeluarkan oleh KKP,” ungkapnya.
Diketahui, sebelumnya, KPK menetapkan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo sebagai tersangka terkait perizinan tambak usaha atau pengelolaan perikanan komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020. Selain Edhy, KPK juga menetapkan enam tersangka lainnya yang juga terseret dalam kasus ekspor benih lobster atau benur.
Mereka yang ditetapkan tersangka penerima suap yakni, Safri (SAF) selaku Stafsus Menteri KKP; Andreau Pribadi Misanta (APM) selaku Stafsus Menteri KKP; Siswadi (SWD) selaku Pengurus PT Aero Citra Kargo (ACK); Ainul Faqih (AF) selaku Staf istri Menteri KKP; dan Amiril Mukminin (AM) selaku swasta. Sementara diduga sebagai pihak pemberi, KPK menetapkan Suharjito (SJT) selaku Direktur PT Dua Putra Perkasa Pratama (DPPP).
KPK menduga, Edhy Prabowo menerima suap dengan total Rp 10,2 miliar dan USD 100.000 dari Suharjito. Suap tersebut diberikan agar Edhy selaku Menteri Kalautan dan Perikanan memberikan izin kepada PT Dua Putra Perkasa Pratama untuk menerima izin sebagai eksportir benih lobster atau benur. Keenam tersangka penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sedangkan tersangka pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.