Komisi IV DPR RI Sepakat Membentuk Pansus Dana Sawit

KOMISI IV DPR-RI melalui rapat panitia kerja (Panja) sawit mengadakan rapat dengar pendapat bersama asosiasi petani sawit dengan agenda masukan pengunaan dana sawit perkebunan untuk peremajaan kelapa sawit. Dalam rapat tersebut, Komisi IV DPR RI sepakat untuk membentuk pansus dana sawit. 

Pimpinan rapat anggota Komisi IV DPR RI G Budisatrio Djiwandono menyebut, rapat ini didasari melihat sawit indonesia sebagai sumber devisa terbesar negara dan penyedia lapangan pekerjaan melalui perkebangan sawit rakyat.  

Tetapi dalam perkembanganya, menurut Budisatrio, menghadapi beberapa permasalahan salah satunya akses dana yang sulit bagi petani. 

"Padahal UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan petani dan UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang perkebunan telah memuat dan mengamanatkan tentang akses pembiayai khususnya kepada perkebun," kata Budisatrio, pada keterangan pers, Selasa (24/11).

Pasal 93 dan 94 UU No 19 Tahun 2013 menyebutkan bahwa perkebunan pembiayan usaha perkebunan bersumber dari APBN dan APBD serta bersumber dari penghimpunan dana pelaku perkebunan, dan dana lain yang sah.  

Sehubungan dengan tersebut, menjadi pertanyaan adalah sejauh mana saat ini petani sawit memperoleh manfaat dari akses dana penghimpunan perkebunan dari lembaga Badan pengelola Dana Perkebunan (BPDPKS). 

Untuk itu DPR-RI mengadakan rapat dengar pendapat dengan asosiasi pengusaha dan asosiasi petani sawit untuk memberikan solusi dan masukan berkaitan dengan dana perkebunan sawit. 

Menangapi penjelasan dari pimpinan rapat Komisi IV DPR-RI, Sekretaris Jendral Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto menyampaikan bahwa kebijakan pemerintah belum menyentuh petani sawit swadaya salah satunya soal program sawit rakyat (PSR). 

Terkait dengan program PSR, menurut Darto, terkesan proyek ini bukan program untuk memuliakan dan memberdayakan petani. Contohnya, pada program ini melibatkan PT Surveyor Indonesia yang terkesan mengambil fungsi dinas perkebunan dan tidak memaksimalkan fungsi dari dinas perkebunan. 

"Selain itu pemerintah tidak memiliki peta jalan PSR sehingga sangat kesulitan untuk mecapai target-target yang sudah ditentukan oleh pemerintah sendiri. Mulai dari data yang ditargetkan di mana setiap daerah tidak memiliki dasar berapa jumlah petani saat ini yang siapa diremajakan," jelasnya. 

"Pemerintah juga tidak memperhatikan kelembagan petani sawit yang terjadi saat ini. Petani dipaksa untuk membentuk kelembagaan petani sawit hanya untuk menampung uang dari PSR dan ini akan mengulangi kesalahan masa lalu. Habis uang subsidi, kelembagan bubar," tegas Darto. 

SPKS juga menyoroti agar platform biaya program PSR Rp60 juta yang ditetapkan oleh pemerintah perlu ditinjau kembali lagi supaya tidak ada kredit lagi yang ditanggung oleh petani sawit. Untuk itu bantuan PSR perlu ditambah menjadi Rp50 juta per ha ketimbang dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit  (BPDPKS) untuk subsidi biodiesel. 

Selain itu juga terkait dengan prosedur program PSR sangat sulit dan panjang sehingga ini menghalangi cita-cita pemerintah untuk peningkatan produktifitas melalui PSR. 

Darto juga mengatakan perlunya kelembagaan BPDPKS ditataulang karena saat ini terkesan sangat eksklusif mulai dari pimpinanya yang sulit untuk diskusi dengan petani sawit, laporan untuk publik tidak tersedia setiap tahunya. 

Laporan tersebut terutama pengunaan dana pungutan, adanya nama-nama konglomerat sawit dalam Dewan pengawas dan Komite pengarah BPDKS, selain itu juga perlu untuk dilakukan audit dengan pelibatan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK). 

Sementara Pahala Sibuea, Ketua Umum Persatuan Organsiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (POPSI), menjelaskan terkait dengan BPDPKS sumber dananya berasal dari sumbangan petani sawit, saat ini sudah ada Rp51 triliun yang dikelola sejak tahun 2015.

"Tetapi dana ini sangat disayangkan karena sebagain besar hanya dimanfaatkan untuk mensubsidi biodiesel sebanyak Rp30,2 triliun (59,21 persen) sementara untuk petani hanya Rp2,7 triliun (5,29%) melalui Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), " jelasnya. 

Ketua Umum Apkasindo, Alfian Alrahman, menilai lambatnya PSR karena kurangnya sosialisasi dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. 

Ia menyebut baru 30% sistem pendanaan saat ini untuk program PSR dari taget pemerintah. Selain itu juga lambatnya PSR ini karena pendanaan yang tidak mencukupi sehingga perlu ditambah anggran PSR menjadi Rp50 juta per ha. 

Joko Supriyono, Ketua Umum GAPKI, mengatakan dalam rangka percepatan PSR GAPKI bisa menjadi mitra dengan petani sehingga peremajaan sawit bisa berjalan dengan baik. 

"Saat ini lagi berkoordinasi dengan, BPDPKS, Kemenko Perekonomian, dan Dirjebun untuk menyusun kemitraan dengan dengan petani sawit, " kata Joko. 

Menanggapi penjelasan dari asosiasi petani sawit, anggota DPRRI Komisi IV, Darori Wonodipuro mengusulkan untuk dibentuk Pansus sawit untuk melihat dan melakukan menyelidiki terkait dengan pengunaan dari dana sawit terutama pengunaan subsidi untuk biodiesel sekitar Rp30 triliun saat ini, artinya kalau ada yang korupsi bisa ditangkap. 

Anggota Komisi IV DPR RI Luluk Nur Hamidah dari Fraksi PKB, Riezky Aprilia dari Fraksi PDI Perjuangan, dan Bambang Purwanto, dari Fraksi Demokrat sepakat untuk membentuk pansus dana sawit.

Diposting 27-11-2020.

Mereka dalam berita ini...

Luluk Nur Hamidah

Anggota DPR-RI 2019-2024
Jawa Tengah 4

Darori Wonodipuro

Anggota DPR-RI 2019-2024
Jawa Tengah 7

G. Budisatrio Djiwandono

Anggota DPR-RI 2019-2024
Kalimantan Timur