Senayan meminta pemerintah bergerak cepat mengatasi lonjakan harga kedelai di pasaran. Saat ini ada sekitar 160 ribu perajin tahu tempe yang terancam tidak berproduksi akibat kelangkaan kedelai di pasaran ini.
Anggota Komisi VI DPR Darmadi Durianto mengatakan, harga kedelai yang semula Rp 6.000 per kilogram naik cepat menjadi Rp 9.200 per kilogram. “Berarti kan benar-benar terjadi kelangkaan,” kata Darmadi di Jakarta, kemarin.
Darmadi mengatakan, ada dua kemungkinan penyebab utama kelangkaan kedelai ini. Pertama, mafia atau pedagang besar berusaha ambil untung dengan sengaja menahan stok kedelai agar lonjakan harga benar-benar terjadi. Kedua, kelangkaan terjadi di pasaran karena memang pasokan kedelai seret.
Politisi senior PDI Perjuangan ini menyarankan Kementerian Perdagangan (Kemendag) melakukan analisis dan estimasi dengan benar berapa sebetulnya kebutuhan sama stok yang ada. Kalau dari sisi supply dan demand salah hitung, maka tentu ujung-ujungnya akan terjadi lonjakan harga.
“Ini tentu menjadi tugas Kemendag melakukan strategi untuk bisa membendung kenaikan harga ini. Negara harus hadir karena ini menyangkut kehidupan ekonomi rakyat,” kata Bendahara Umum Megawati Institute ini.
Darmadi mengingatkan, para perajin tahu dan tempe paling terdampak dengan kelangkaan kedelai ini. Mereka kebanyakan pelaku Usaha Kecil dan Menengah (UMKM). Berdasar data resmi Kemendag, setidaknya ada 160 ribu perajin tahu tempe terdata.
Dia meyakini, jumlah pelaku usaha yang menggantungkan hidupnya dari pasokan kedelai ini sebenarnya masih lebih besar. Karena masih banyak yang belum masuk dalam database pemerintah.
“Tentu pemerintah harus hadir. Jangan hanya bilang ini faktor eksternal. Teliti lebih lanjut ada nggak permainan spekulan untuk menahan barang agar tidak dipasarkan ke bawah supaya harga makin tinggi,” katanya.
Selain membendung permainan para spekulan, pemerintah bisa membuat terobosan lain agar pasokan kedelai ini bisa segera stabil. Salah satunya membuat kebijakan stimulus dengan mengenakan tarif bea masuk rendah atau tidak ada sama sekali. Stok-stok yang dipegang para mafia dan pedagang besar kedelai itu harus di-push supaya masuk ke pasar.
Yang tidak kalah pentingnya, pemerintah harus meningkatkan produksi dalam negeri untuk mengurangi ketergantungan akan kedelai impor. Di semester pertama Tahun 2020 saja, Indonesia mengimpor kedelai dalam jumlah sangat besar, yakni 1.27 juta ton senilai 510.2 juta dolar AS atau sekitar 7,24 triliun.
Sementara produktivitas kedelai yang dihasilkan para petani kita masih terbilang sangat rendah, 1,5 ton per hektare. Masih sangat jauh dari produktivitas yang dihasilkan para petani Amerika Serikat yang saat ini menjadi produsen utama dunia dengan 4 ton per hektare.
“Sesuai dengan Trisakti Bung Karno yang kedua, kita harus berdikari di bidang ekonomi. Karena itu, tak ada cara lain. Produktivitas harus ditingkatkan untuk mewujudkan swasembada kedelai,” tambah dia.
Sementara Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo, mengakui pengembangan produksi kedelai oleh petani lokal sulit dilakukan untuk mencapai swasembada kedelai. Hal ini mengingat komoditas tersebut tidak memiliki kepastian pasar dibandingkan komoditas pangan lainnya.
Peningkatan produksi kedelai diakui memang tidak mudah untuk dilakukan, mengingat kedelai masih diposisikan sebagai tanaman penyelang atau selingan bagi tanaman utama seperti padi, jagung, tebu, tembakau, dan bawang merah.