DPR RI telah mengagendakan pembahasan revisi Undang- Undang No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua. Setidaknya ada satu hal yang mendesak perlunya revisi, yakni berakhirnya masa anggaran otsus tahun ini setelah disalurkan pusat selama 20 tahun.
Pemerintah ataupun parlemen telah memberikan sinyal dana otsus Papua akan dilanjutkan. Akan tetapi, sejumlah pihak memandang skeptis tentang efektivitas otsus.
Gelombang penolakan revisi UU Otonomi Daerah disuarakan sebagian rakyat Papua. Mereka menilai revisi tersebut hanya berpihak pada segelintir orang Papua dan para elite yang mendapat keuntungan dari Tanah Papua selama ini. Tidak hanya itu, status otonomi daerah yang diberikan pemerintah pusat selama 20 tahun mereka sebut kurang memberikan manfaat dan kemajuan bagi rakyat Papua.
Dirjen Otonomi Daerah (Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Akmal Malik enggan memberikan komentar mengenai penolakan terhadap rencana revisi UU Otsus Papua tersebut. Pasalnya, perdebatan tentang otsus belakangan membuat suasana makin panas di Papua.
“Saya tidak mau komentar dululah demi mendinginkan suasana,” katanya ketika dihubungi, kemarin.
Pakar otonomi daerah Djohermansyah Djohan menyebutkan ada sejumlah alasan yang menyebabkan masyarakat Papua menolak revisi UU Otsus yang bakal segera dibahas pemerintah dan DPR, yaitu politik-ideologis dan teknis pemerintahan. Para penolak yang menggunakan dasar ideologis karena memang sejak awal tidak setuju dengan pemberlakuan UU Otsus.
“Sementara itu, ada yang dulu mau terima, tapi setelah dilaksanakan otsus tidak berhasil bikin sejahtera orang asli Papua,” jelasnya.
Mantan Dirjen Otda Kemendagri itu menambahkan, ada persoalan pada kapasitas eksekusi oleh aktor lokal. Ada pula masalah pada lemahnya pembinaan dan pengawasan dari pemerintah pusat yang menyulitkan implementasi kebijakan otsus.
“Selain itu, pendekatan keamanan yang kuat ketimbang kesejahteraan juga membuat menguatnya tekad penolakan,” ungkapnya.
Djohermansyah menyarankan pemerintah lebih bijak dengan mengajak bicara dan berdialog tokoh pemerintahan, luar pemerintahan, para akademisi, tokoh adat, dan sesepuh orang Papua. Kedua belah pihak perlu menyepakati bersama-sama sejumlah agenda yang akan dibahas dalam revisi UU Otsus Papua.
Buka diri
Ketua Panitia Khusus (Pansus) Papua DPD RI Filep Wamafma menilai draf RUU Otsus Papua belum menjawab persoalan di Papua. Oleh sebab itu, pembahasan awal RUU tersebut perlu dilakukan dengan mendengarkan masukan dan saran dari tokoh Papua.
“Tentunya melalui mekanisme yang benar, yaitu melalui MRP (Majelis Rakyat Papua) dan DPRP (Dewan Perwakilan Rakyat Papua) atau setidaknya pemerintah dapat memahami kondisi aspirasi masyarakat Papua,” papar Filep ketika dihubungi Media Indonesia, kemarin.
Filep menjelaskan persoalan mendasar dari kebijakan otsus selama ini, yakni belum mampu mendongkrak kesejahteraan masyarakat di Papua. Kemudian juga peran pemerintah daerah belum sepenuhnya mandiri untuk menjalankan seluruh kewenangan terkait dengan regulasi ini.
Pihaknya juga mengharapkan pemerintah tidak hanya fokus pada amendemen UU Otsus, tapi juga membuka diri untuk menyelesaikan persoalan HAM di Tanah Papua.
“Pemerintah diharapkan membuka diri untuk berdialog dengan semua pihak agar konflik politik yang berkepanjangan dapat berakhir,” pungkas Filep.