‘Fintech Lending’ Tumbuh Subur, Perlu Ada Jaminan Keamanan Konsumen

Sektor industri keuangan digital atau financial technology (fintech) mencatatkan pertumbuhan sebesar 25 persen sepanjang tahun 2020. Hingga akhir tahun, total pinjaman peer-to-peer (P2P) pada sektor tersebut mencapai nilai pendanaan mencapai Rp73 triliun. Pertumbuhan ini menjadi torehan positif ditengah keterpurukan pertumbuhan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Ini menunjukkan perkembangan sektor teknologi informasi yang menjadi tumpuan disaat kebijakan pembatasan sosial diberlakukan.

Per November 2020, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (APFI) mencatat pertumbuhan tersebut sebenarnya masih lebih rendah jika dibandingkan tahun sebelumnya yang sempat menyentuk triple digit. Tercatat hingga periode tersebut, terdapat setidaknya 700 ribu transaksi dengan jumlah peminjam mencapai 40 juta orang. Meski dihantui PSBB, pencairan pinjaman perbulan sempat turun  menjadi Rp3 triliun jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang mencapai Rp7 trilun.

Hal tersebut mengemuka dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) Komisi XI DPR dengan AFPI. Merespon hal itu, Anggota Komisi XI DPR RI Fauzi H. Amro menekankan perlu adanya lembaga yang bisa memberikan jaminan keamanan bagi konsumen fintech. Menurutnya, lembaga penjamin menjadi perlu untuk bisa masuk dalam sektor industri ini sehingga nantinya jika ada nasabah bermasalah, tidak ada lembaga yang bisa menjamin.

"Aset pengelolaan perbulan kan luar biasa mencapai Rp7 triliun, kalau setahun bisa Rp80 triliun. Fintech ini buat di kalangan luar perbankan kan dianggap sebagai barang baru, untuk itu dari hulu hingga hilir harus dipersiapkan. Penjelasan perbedaan fintech dengan pinjol (pinjaman online) masyarakat juga bingung. Sekarang kalau ada problem, adakah jaminan keamanan bagi konsumen masuk ke situ,” kata Fauzi saat mengikuti RDPU di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (14/1/2020).

Tidak adanya lembaga penjamin, seperti Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagaimana terdapat pada bank konvensional, ditengarai berpotensi menimbulkan banyaknya aduan dari sisi konsumen. "Kalau seandainya LPS tidak masuk kesitu, sementara AFPI hanya menjadi fasilitator saja, ketika nanti nasabah bermasalah siapa yang akan bertanggung jawab, LPS-nya tidak ada, di perbankan saja ada jaminan, perlu skema mendetail dari hulu hingga hilir," imbuh Fraksi Partai NasDem tersebut.

Belum disahkannya Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), juga dinilai Fauzi, dapat membuat fintech semakin rentan. Meski sampai saat ini, payung hukum yang digunakan fintech adalah Peraturan OJK Nomor 77/POJK.01/2016 secara tegas aturan tersebut belum bisa membedakan sistem operasi antara fintech yang sudah memegang izin dengan fintech yang baru sebatas terdaftar di OJK. 

“Bagaimana asosiasi bisa memberikan pemahaman, sekarang ini kan banyak fintech bermasalah, orang enggak kenal apakah itu pinjol, fintech terdaftar atau berizin ya tahunya fintech semua pak. Oleh sebab itu, mohon regulasinya diatur tidak hanya POJK dan Peraturan BI, mungkin bisa ke LPS kalau saran saya, supaya ide baru dan barang baru ini ada manfaatnya bagi masyarakat dan membantu dalam kondisi pandemi," pungkasnya.

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal AFPI Sunu Widyatmoko mengatakan bahwa pertumbuhan fintech pendanaan atau peer-to peer landing (P2P) meningkat akibat adanya celah atau gap pendanaan yang mencapai angka Rp1.000 triliun yang tidak bisa dipenuhi oleh sektor kuangan konvensional seperti perbankan, sebagaimana dilaporkan oleh World Bank atau Bank Dunia pada tahun 2016 silam.

"Laporan Bank Dunia tahun 2016 mengatakan bahwa kebutuhan total UMKM di Indonesia mencapai Rp1.600 triliun, sedangan kapasitas dan kemampuan lembaga keuangan tradisional yang ada saat ini hanya mampu mencapai sekitar Rp600 triliun. Jadi ada Rp1.000 triliun kesenjangan atau gap kekosongan yang belum terpenuhi," kata Sekjen AFPI dalam paparannya.

Kesenjangan ini yang kemudian menjadi daya tarik bagi para pelaku fintech, terlebih sektor perbankan dinilai masih belum maksimal dalam memberikan pinjaman. Meski begitu, pihak AFPI berjanji untuk terus berperan aktif terhadap perlindungan konsumen terutama terkait data pribadi yang sangat rentan disalahgunakan.

"Jika ada anggota kami yang terbukti melakukan pelanggaran data pribadi atau apapun, nantinya ada dewan komite yang menindaklanjuti. Apabila ada pelanggaran berat, maka akan dikeluarkan," tutup Sekjen AFPI.

Diposting 15-01-2021.

Dia dalam berita ini...

Fauzi H Amro

Anggota DPR-RI 2019-2024
Sumatera Selatan 1