MOLORNYA pengesahan Daftar RUU Prioritas 2022 sejak ditetapkan Baleg pada 14 Januari lalu merupakan catatan awal yang buruk terkait pelaksanaan fungsi legislasi DPR.
"Bagaimana berharap akan bisa meningkatkan kinerja legislasi mereka, jika untuk mengesahkan daftar Prioritas yang menjadi acuan utama pelaksanaan fungsi legislasi saja, DPR sangat molor," ujar Peneliti Formapi Lucius Karus
Lucius yang dihubungi Selasa, (2/22) mengatakan molornya agenda pengesahan daftar Prolegas Prioritas menjadi tanggungjawab pimpinan DPR yang bertugas menetapkan agenda pelaksanaan paripurna.
"Saya menduga kelambanan pimpinan mengagendakan paripurna pengesahan daftar Prioritas 2021 terkait dengan munculnya polemik keserentakan Pilkada dan Pemilu pada 2024 mendatang"
Ketua DPR Puan Maharani dinilai ingin mempertahankan ketentuan yang sudah diatur dalam UU Pilkada yang menetapkan pilkada berikutnya akan dilaksanakan pada tahun yang sama dengan Pemilu Nasional.
Sedangkan sebagian Partai menginginkan agar Pilkada serentak 2024 itu dievaluasi ulang sembari mendorong Pilkada 2022 dan 2023 terlaksana.
"Komposisi parpol yang nampaknya tak lagi selaras dengan kelompok koalisi dan oposisi selama ini dalam isu terkait Pilkada memunculkan kekhawatiran bagi PDIP dan partai-partai pendukung Pilkada serentak 2024 bahwa jika diberikan ruang untuk merevisi UU Pemilu maka sangat mungkin peta kekuatan pendukung Pilkada 2022 dan 2023 akan unggul," ungkapnya.
Dengan molornya waktu penetapan maka Puan dinilai tidak bisa bertindak bijak untuk segera mengesahkan Daftar RUU Prioritas 2021. Padahal banyak RUU yang ditunggu publik agar segera dibahas salah satunya RUU terkait Provinsi Papua.
"Gara-gara kepentingan partai terkait Pemilu, nasib RUU Prioritas lain terancam molor dibahas DPR.Daftar RUU Prioritas itu gambaran kebutuhan legislasi bangsa dan karenanya tidak ada alasan kebutuhan itu digantung tidak jelas hanya karena pimpinan mesti mempertimbangkan kepentingan partai," tukasnya.