Anggota Komisi III DPR Rudi Masud mencatat figur Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo (LSP) begitu menarik. LSP tergolong sebagai Kapolri muda yang melangkahi beberapa angkatan dari seniornya. Sama seperti Jenderal (Purn) Tito Karnavian yang menjadi Kapolri pada 2016-2019.
Saat fit and proper test Kapolri di Komisi III DPR pada 20 Januari lalu, LSP yang saat itu masih Kabareskrim datang diantar langsung oleh Kapolri Jenderal Idham Azis dan sejumlah perwira tinggi senior lainnya.
“Suasana sangat cair. Dan kita tahu, ini adalah tradisi baru pembelajaran bagi generasi Polri bahwa pergantian kepemim pinan Korps Bhayangkara ada lah suatu keniscayaan,” kata Rudi dalam keterangannya di Jakarta, kemarin.
Rudi lalu menyoroti konsep LSP tentang ‘transformasi Polri yang Presisi’. Konsep itu menekankan manajemen kepolisian yang prediktif, responsibilitas, transparansi dan berkeadilan. Pendekatan ini diyakini bisa membuat pelayanan Polri lebih terintegrasi, modern, mudah, dan cepat.
“Beliau menekankan pada transformasi yang mengarah ke profesional. Membuktikan bahwa Polri tidak mau terjebak dalam zona nyaman, melainkan menyadari tantangan ke depan yang semakin hari semakin kompleks dan beragam,” katanya.
Terpisah, Direktur Imparsial Al Araf menilai, salah satu visi misi Kapolri yang menarik untuk dicermati adalah ungkapannya yang hendak menjadikan keselamatan manusia sebagai hukum tertinggi.
Ungkapan ini mengedepankan perlidungan manusia dan HAM sebagai bentuk hukum tertinggi. “Visi misi biasanya dalam konsep indah disampaikan tapi nanti akan kita buktikan dan uji realisasinya,” kata Al Araf dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) bertajuk ‘Kapolri Baru dan Masa Depan Kepolisian Kita’ di Jakarta, kemarin.
Turut hadir sebagai pembicara Direktur Center for Media and Democrazy Wijayanto, Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) M Harifin, Ketua Forum 4 De Facto Malik Fery Kusuma, dan moderator akademisi Universitas Brawijaya Milda Istiqomah.
Al Araf berpandangan, dinamika Polri akan sangat tergantung pada arah tujuan negara dalam membangun keamanan demokrasi. Kalau tujuan politik negara sehat, maka reformasi di Polri bisa berjalan baik.
Namun masalahnya, Al Araf melihat intervensi kekuasaan dalam institusi Polri ini masih sangat kuat. Sebagai contoh, lahirnya Perppu tentang pembubaran ormas, isu tentang kriminalisasi, larangan demonstrasi dan sebagainya.
“Apakah Kapolri baru bisa bawa arah perubahan Polri ke depan ke arah yang lebih baik? Itu PR (Pekerjaan Rumah) yang menurut saya sangat rumit karena sangat membutuhkan dukungan politik dan tujuan politik negara,” katanya.
Lebih lanjut, Al Araf mengatakan, untuk meredam politisasi Polri, maka baiknya proses pergantian Kapolri tidak perlu melalui persetujuan DPR. Selama ini, pengangkatan Kapolri, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) dan Panglima TNI melibatkan DPR sehingga mengakibatkan lembaga-lembaga ini masuk dalam ruang politik.
Kondisi ini pula yang kemu dian menyebabkan acap kali membangun opini bahwa pemilihan Kapolri penuh dengan transaksi dan konstestasi. “Seharusnya Kapolri cukup diangkat oleh Presiden. Demikian juga BIN dan Panglima TNI. tugas DPR mengawasi yang diangkat Presiden,” katanya.