Pemerintah dinilai belum menindak tegas pelaku illegal logging (pembalakan liar). Padahal, kerugian negara dari aktivitas liar tersebut ditaksir Rp 25 triliun per tahun.
Wakil Ketua Komisi IV DPR Firman Soebagyo mengaku, perundang-undangan yang ada sekarang belum mengatur secara eksplisit terkait pemberantasan pembalakan liar.
Karena itu, saat ini DPR tengah fokus menyelesaikan Rancangan Undang-undang (RUU) terkait pembalakan liar, pencegahan dan perusakan kawasan hutan. Saat ini, aturan tersebut sudah masuk dalam tahapan pembahasan RUU pencegahan pemberantasan pembalakan liar.
“Hutan itu bisa rusak bukan karena penebangan saja tapi juga akibat adanya tambang liar, perkebunan liar dan sebagainya. Ini yang kita atur dalam undang-undang dan menjadi hal serius untuk kita bahas dan akan segera kita selesaikan dalam waktu mendatang,” ujarnya.
Firman mengatakan, RUU tersebut nantinya mengatur sanksi bersifat progresif. Tidak hanya untuk pelaku, tapi juga mafia yang berada di belakang aksi penebangan liar.
Selain itu, saat ini komisinya juga tengah merumuskan untuk membentuk komisi pemberantasan perusakan kawasan hutan dalam RUU tersebut.
“Pembalakan liar itu seringnya yang tertangkap hanya yang cere, tapi kakapnya tidak pernah tersentuh. Karena diaturan sekarang itu belum secara detail dan rinci masalah sanksi pidana terhadap pelanggaran pembalakan liar atau perusakan hutan,” terang Firman.
Firman mencatat, kerugian yang ditaksir akibat aktivitas illegal logging dan masalah penggunaan kawasan hutan yang terkait dengan tambang ada 13 perusahaan mencapai Rp 21,5-25 triliun. Sementara untuk perambah hutan yang disebabkan melanggar aturan seperti di Kalimantan Tengah mencapai lebih dari Rp 2 triliun.
“Harus betul-betul ada perhatian serius karena ini menyangkut uang negara. Setelah masa sidang ini kita harapkan pembahasan selesai. Ini menujukkan keseriusan kita bersama, concern pemerintah terkait dengan masalah pengrusakan hutan dan pembalakan liar,” pungkasnya.
Pengamat kehutanan dari Institute Hijau Indonesia Slamet Daryoni mengatakan, belum ada keseriusan dari pemerintah menindak tegas pelaku illegal logging. Hal itu bisa dilihat dari aturan dan produk kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Belum lagi, koordinasi antar lembaga kementerian yang masih tumpang tindih.
“Undang-undang kita belum mengarah pada upaya untuk memberantas illegal logging. Peluang ini seringkali dijadikan celah untuk tetap melakukan penebangan dengan alasan koordinasi antar kementerian yang tidak clear. Kalaupun ada upaya menurunkan kegiatan illegal loging, itu hanya sebagian kecil dan sekadar lip service dari pemerintah agar tidak dikritik oleh masyarakat,” jelas Slamet.
Slamet beranggapan, baik illegal logging maupun illegal logging sebenarnya hanya memiliki motif memperkaya segelintir orang mencari kekayaan. Sementara, penduduk yang berada di kawasan itu justru semakin miskin, akibat dari bencana yang terus terjadi.
“Harus ada hukuman yang berat. Tapi itu tergantung political will pemerintah, jadi bisa menambah efek jera, bukan dihukum hanya 2- 3 tahun. Itu tidak seimbang dengan dampak yang ditimbulkan,” tukas Slamet.
Slamet juga meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Perdagangan membangun komunikasi dengan pihak asing yang selama ini seringkali menerima kayu dari Indonesia.