Senayan menyoroti Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang belum jadi program prioritas. Punya nomenklatur tata ruang, tapi selesaikan persoalan RTRW di daerah.
“Saya sudah dua tahun di Komisi II, tapi saya belum melihat prioritas dari kementerian Bapak berkaitan dengan realisasi RTRW,” kata anggota Komisi II DPR Hugua dalam rapat kerja bersama Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil dan jajaran di Gedung Parlemen, Jakarta, kemarin.
Hugua mengingatkan, penyelesaian RTRW ini merupakan amanah dari Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Sayangnya, implementasi dari Undang-Undang Tata Ruang ini jalan di tempat.
“Republik ini selama Undang-Undang RTRW tidak dimaksimalkan pada level kementerian, ini akan terkatung-katung dan terlalu berbahaya jika tidak segera ditata barang ini (RTRW) di kementerian,” tegas Hugua.
Hugua menyadari, persoalan besar menyelesaikan RTRW ini adalah arogansi gubernur, bupati/wali kota dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Apalagi secara hierarki para kepala daerah bukan bawahan langsung menteri. Hasilnya, sampai saat ini saja, dari 34 provinsi, baru 14 provinsi yang bikin RTRW.
“Gila, belum sampai setengah. Kemudian dari 514 kabupaten kota, baru 40 kabupaten/kota yang buat RTRW. Bagaimana nasib Indonesia ke depan jika setiap kabupaten/kota tidak punya rencana tata ruang wilayah yang di-organize,” tegas Hugua.
Karena itu, dia meminta Menteri Sofyan menaruh perhatian serius di tahun ini memaksimalkan anggaran untuk menyelesaikan RTRW ini.
“Tolong dibuat roadmap selama 5 lima tahun, misalkan. Sehingga sebelum tahun 2024, minimal setengah dari (514) kabupaten kota sudah punya RTRW karena ini desain berkaitan dengan masalah transportasi, perumahan, industri, yang kacau balau kalau tidak ada pedoman,” harap Hugua.
Hal senada dilontarkan anggota Komisi II DPR Nasir Djamil. Menurutnya, karena Menteri Sofyan memimpin Kementerian ATR, maka seyogyanya masalah tata ruang merupakan program yang mendapat prioritas.
“Kalau Pak Menteri melihat hari ini, memang ada kesimpangsiuran soal tata ruang karena daerah itu seringkali rencana tata ruang disatukan dengan pengembangan,” katanya.
Akibatnya, Nasir bilang, terjadi kesimpangsiuran terkait persoalan tata ruang. Padahal, sejatinya RTRW merupakan rujukan pembangunan di daerah dan nasional. Tak bisa dipungkiri, sambung politisi PKS ini, keputusan tata ruang sangat didominasi oleh keputusan politik.
“Keputusan politik ini dalam tanda kutip merujuk pada segelintir orang, pada sekelompok orang dan sebagainya, Bukan politik pembangunan apalagi politik lingkungan,” katanya.
Karena itu, sudah menjadi tanggung jawab DPR bersama Kementerian ATR/BPN untuk mensinkronisasikan RTRW nasional dan daerah. Dia pun meminta agar Kementerian ATR/BPN bisa menangani dan membina daerah menuntaskan masalah RTRW ini.
“Sehingga RTRW daerah itu memberikan kemakmuran pada daerah tersebut,” tambah dia.