Enam orang terpidana kasus narkotika jenis sabu-sabu seberat 402 kilogram yang dikemas mirip bola dinyatakan lolos dari hukuman mati. Sejumlah anggota Komisi III DPR RI heran mengapa hakim meloloskan para terpidana itu dari hukuman mati.
"Untuk kejahatan luar biasa narkoba dengan barang bukti sedemikian besar, pengurangan hukuman yang dilakukan oleh PT (Pengadilan Tinggi) Bandung tentu cukup mengagetkan dan menimbulkan tanda tanya besar," ujar anggota Komisi III DPR RI Fraksi Demokrat Didik Mukrianto, kepada wartawan, Senin (28/6/2021).
Didik mengatakan, hukuman mati bagi pelaku kejahatan narkoba bukan hanya untuk memberikan hukuman setimpal atau pun untuk memberikan efek jera semata.
Namun, yang tidak kalah penting adalah untuk melindungi masyarakat dan menyelamatkan anak-anak bangsa dari bahaya penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang.
"Indonesia telah terikat dengan konvensi internasional narkotika dan psikotropika yang telah diratifikasi menjadi hukum nasional dalam Undang-Undang Narkotika. Oleh sebab itu, Indonesia justru berkewajiban menjaga warga negaranya dari ancaman jaringan peredaran gelap narkotika skala internasional dengan menerapkan hukuman yang efektif dan maksimal," ucap Didik.
Dia menyebut dalam konvensi internasional itu, Indonesia telah mengakui kejahatan narkotika sebagai kejahatan luar biasa.
Sehingga, kata dia, penegakan hukumnya butuh perlakuan khusus, efektif dan maksimal."Salah satu perlakuan khusus tersebut yakni dengan cara menerapkan hukuman berat pidana mati," katanya.
Menurut Didik, meski independensi hakim harus dihormati, pengurangan hukuman kejahatan narkoba yang melibatkan 402 kg sabu-sabu dapat mengusik nalar dan logika sehat publik.
Dia menyebut tidak bisa dibayangkan daya rusak sabu 402 kg tersebut terhadap generasi bangsa."Kejahatan yang tidak termaafkan. Masih ada langkah Jaksa untuk melakukan kasasi. Untuk keadilan dan untuk melindungi kepentingan generasi yang lebih besar lagi Jaksa harus kasasi," kata dia.
Didik meminta masyarakat mengawasi setiap perilaku hakim. Jika masyarakat melihat ada perilaku hakim yang tidak sepantasnya, apalagi terbukti memberi toleransi terhadap kejahatan atau bahkan ikut menjadi bagian kejahatan termasuk kejahatan narkoba maka masyarakat dapat melaporkan ke pihak yang berwajib atau kepada Komisi Yudisial.
"Selain itu saya berharap Komisi Yudisial terus melakukan pengawasan yang intensif dan berkesinambungan terhadap hakim-hakim yang berpotensi berperilaku menyimpang," imbuhnya.
Sementara itu, anggota Komisi III DPR RI Fraksi Golkar Supriansa juga turut memberi komentar atas lolosnya jeratan hukuman mati bagi terpidana kasus sabu-sabu seberat 402 kg.
Dia menyindir agar keluarga hakim yang memutus tidak terjerat narkoba."Semoga hakim yang sering memutus perkara narkoba dengan hukuman rendah tidak ada keluarganya yang terjangkiti narkoba. Karena dia baru sadar nanti kalau ada keluarganya kena baru tahu rasa bagaimana bahayanya narkoba dan sejenisnya itu. Ujung perjalanan pecandu narkoba adalah gila, penjara, dan kuburan," tegas Supriansa.
Supriansa menyebut sejak dulu dirinya setuju hukuman berat hingga hukuman mati kepada bandar narkoba berikut aktor intelektualnya.
Terutama, kata dia, bandar dari luar negeri yang sering ditangkap polisi. "Kasihan juga polisi capek menangkap pelaku narkoba, tetapi dituntut atau bahkan diputus dengan hukuman yang rendah oleh hakim," ucapnya. Dia mengapresiasi pengadilan negeri yang mengadili kasus itu dengan putusan hukuman mati bagi para pelakunya.
Supriasna berharap hakim yang memutus meloloskan para terpidana hukuman mati diperiksa oleh Mahkamah Agung. "Kepada Mahkamah Agung bisa memeriksa hakim tinggi yang memutus perkara itu yang sangat berbeda dengan putusan sebelumnya. Putusan di pengadilan negeri atau putusan di pengadilan banding harus transparan supaya masyarakat kembali mempercaya lembaran penegakan hukum di Indonesia," kata Supriansa.
Sebagai informasi, enam orang terpidana pada kasus narkotika jenis sabu-sabu seberat 402 kilogram yang dikemas mirip bola diungkap oleh Satgas Merah Putih pada Rabu 3 Juni 2020 itu dinyatakan lolos dari hukuman mati.
Enam orang terpidana sebelumnya diketahui mendapat vonis hukuman mati di Pengadilan Negeri Cibadak pada 6 April 2021 itu, mendapat keringanan hukuman belasan tahun penjara setelah pengajuan banding yang dilakukan oleh kuasa hukum mereka diterima majelis hakim Pengadilan Tinggi (PT) Bandung.
Enam terpidana yang sebelumnya mendapat hukuman mati yang kini putusan banding mendapat hukuman 15 tahun masing-masing ialah Basuki Kosasih dan Sukendar alias Batak.
Sementara untuk yang mendapat hukuman 18 tahun penjara masing-masing Nandar Hidayat, Risris Risnandar, dan Yunan Citivaga.