BADAN Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan kekhawatirannya pada kesanggupan pemerintah melunasi utang luar negeri yang membengkak. Rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) juga terus meningkat.
Wakil Ketua Komisi XI DPR dari Fraksi Partai NasDem Achmad Hatari mengimbau pemerintah agar melakukan berbagai upaya guna menekan beban utang dan bunga utang. Perlu juga tetap menjaga stabilitas fiskal dan ekonomi semaksimal mungkin.
"Inovasi dan kreativitas yang tidak merugikan kelompok masyarakat menengah ke bawah wajib dilakukan oleh pemerintah," kata Hatari dalam keterangan tertulis, Senin (28/6).
Dia menjelaskan, kekhawatiran BPK selaku auditor negara tidak bisa dianggap remeh. Mengingat utang pemerintah memang membengkak hingga sempat mencapai Rp6.527,29 triliun.
"Per April 2021, Kementerian Keuangan mencatat utang pemerintah telah mencapai Rp6.527,29 triliun atau 41,18% terhadap PDB. Lalu, per Mei 2021 sebesar Rp6.418,5 triliun atau 40,49% dari PDB. Utang meningkat 22% dibandingkan dengan Mei 2020 yang senilai Rp5.258,57 triliun," papar dia.
Hatari mengutarakan beberapa indikator utang luar negeri menunjukkan tingginya risiko utang dan beban bunga utang pemerintah. Rasio pembayaran bunga utang terhadap penerimaan negara pada 2020 mencapai 19,06% dan telah melampaui rekomendasi IMF yakni sebesar 7-10%, serta melampaui standar International Debt Relief (IDR) sebesar 4,6-6,8%.
"Rasio utang terhadap penerimaan negara pada 2020 mencapai 369%, jauh di atas rekomendasi IMF 90-150% dan melampaui standar IDR sebesar 92-167%. Sedangkan rasio pembayaran utang pokok dan bunga utang luar negeri (Debt Service Ratio) terhadap penerimaan transaksi berjalan pemerintah pada 2020 mencapai 46,77%. Ini melampaui rekomendasi IMF 25-35%, meski masih dalam rentang standar IDR yang sebesar 28-63%," papar Hatari.
Sehingga, lanjut Hatari, wajar jika BPK menilai posisi utang dan beban bunga utang pemerintah saat ini berisiko. Dia berharap pemerintah dapat mengerem laju utang dan beban bunga sembari meningkatkan penerimaan negara melalui reformasi perpajakan.
"Namun demikian reformasi pajak jangan sampai merugikan masyarakat lemah dan menguntungkan masyarakat super kaya. Pajak adalah instumen pendukung pemerataan dan keadilan, bukan sebaliknya," tandas legislator dari dapil Maluku Utara itu.
Di sisi lain, sambung Hatari, pemerintah juga harus selalu waspada dalam mengelola APBN secara akuntabel, transparan, profesional, kredibel dan bertanggung jawab.