Anggota Komisi XI DPR RI Agun Gunandjar Sudarsa menilai RUU Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD) tidak memiliki kemajuan signifikan dan nantinya bernasib sama seperti UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah. Sebab menurutnya, dasar pembentukan aturan tersebut tidak berangkat dari landasan filosofis, fundamental, dan konsitusional sebagaimana mestinya.
“UU HKPD tidak memberi kemajuan apa-apa kalau anggaran-anggarannya masih tetap ada di Kementerian/Lembaga, masih tetap di Jakarta. Padahal rakyat itu ada dari Sabang sampai Merauke. Kalau uang (Dana Bagi Hasil) itu ditransfer ke 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota maka akan menumbuhkan pelaku ekonomi baru di daerah,” kata Agun dalam Rapat Panja RUU HKPD Komisi XI DPR RI dengan sejumlah pakar keuangan, Rabu (7/7/2021).
Lebih lanjut, politisi Fraksi Golkar itu berpendapat, jika keuangan pusat-daerah hanya berbicara pada tataran angka-angka dan tanpa memikirkan landasan filosofis dan tujuannya, maka tidak ada langkah maju yang spesifik. Sebab, RUU HKPD tidak hanya berdasarkan pada ketimpangan fiskal tetapi juga karena masih adanyaketimpangan layanan yang tidak merata di daerah-daerah di Indonesia.
“Sesuai aturan fungsi K/L urusannya hanya membuat kebijakan yang pelaksanaan teknisnya oleh daerah. Kenyataannya program mereka masih dalam bentuk dana alokasi khusus (DAK), yang semuanya masih sentralistik di Jakarta. Menurut hemat saya, uangnya harus betul-betul turun ke daerah bahkan tidak ada lagi uang yang masih ada di K/L teknis,” sambungnya.
RUU HKPD dirancang pemerintah semata-mata untuk mempercepat perbaikan dan pemerataan layanan publik di seluruh pelosok Indonesia. Sebab hingga saat ini belum terlihat adanya lompatan perbaikan kesejahteraan masyarakat yang signifikan meski anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) terus meningkat sejak 20 tahun terakhir.
Hadir dalam RDPU, mantan Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan sempat menyarankan agar pasal mengenai desain ulang desentralisasi diskal dimasukan dalam RUU HKPD. Tujuannya agar mendorong pemerintah daerah agar memiliki kemandirian fiskal. Sebab selama ini, praktik yang berjalan belum cukup efektif mengingat hanya satu daerah yang tergolong sangat mandiri.
“Praktik desentralisasi fiskal perlu didesain ulang terutama pelimpahan tanggung jawab pengeluaran yang memadai, ini harus clear dulu. Ketergantungan pemda kepada pemerintah pusat masih tinggi. Sampai saat ini baru Kabupaten Badung, Provinsi Bali yang berhasil mencapai level sangat mandiri dari sisi fiskal,” ungkap Guru Besar IPDN tersebut.
Ketidakmandirian fiskal juga disebabkan oleh berbagai hal, mulai dari pendapatan asli daerah (PAD) yang kecil sedangnya belanja daerahnya besar, penerimaan pajak daerah yang rendah, kesenjangan wilayah atau sering terjadi bencana, dana bagi hasil (DBH) rendah, serta hanyak program yang tidak tepat sasaran. Untuk itu, Djohan menyarankan agar RUU HKPD memuat pasal yang memberikan kejelasan praktik desentralisasi fiskal.
Desain ulang desentralisasi fiskal juga penting untuk dilakukan melalui pengalokasian sumber pendapatan yang sesuai dan memadai. Terkait itu, pemda perlu diberi kewenangan untuk memungut jenis pajak yang basisnya tidak bergerak, serta diberi fleksibilitas dalam menentukan tarif. Harapannya, RUU HKPD dapat menyempurnakan ketentuan dalam UU PDRD.
Tidak hanya redesain desentralisasi fiskal, Djohermansyah juga menyarankan pemerintah melakukan perbaikan skema pengelolaan keuangan pusat dan daerah. Penerapan dana bagi hasil (DBH) minyak bumi, misalnya, dapat ditingkatkan dari 15 persen menjadi 35 persen. Selain itu pemerintah juga perlu mempertimbangkan pemberian DBH baru untuk provinsi penghasil kelapa sawit.
Pasalnya selama ini, sejumlah daerah seperti Riau dan provinsi-provinsi lain di Kalimantan sering mengeluhkan porsi DBH yang tidak memadai padahal daerah mereka sebagai penghasil komoditas kelapa sawit. “Sepertinya harus dikaitkan juga dengan daerah yang seperti apa atau daerah sebagai penghasil apa,” pungkasnya.