Ketua MPR Bambang Soesatyo sedang kasak-kusuk mendorong amandemen UUD 1945 untuk memasukkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) dalam konstitusi. Namun, rencana itu ditentang banyak kalangan. Sedangkan dari pihak Pemerintah, memilih cuek dengan niat bos MPR itu. Menko Polhukam Mahfud MD menegaskan, Pemerintah tak mau ikut campur.
Wacana amandemen mengemuka setelah dilempar ke publik oleh Bambang Soesatyo menjelang 17 Agustus lalu. Sempat meredup karena banyak ditentang berbagai pihak, wacana ini menguat kembali setelah pertemuan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dan Sekjen Gerindra Ahmad Muzani, Selasa lalu. Wacana amandemen semakin nyaring setelah Presiden Jokowi mengumpulkan para ketua umum dan sekjen partai koalisi di Istana, Rabu kemarin.
“Pemerintah tidak bisa mengatakan setuju perubahan atau tidak setuju perubahan,” ucap Mahfud, dalam Diskusi Konstitusi yang diselenggarakan Integrity Lawfirm, dengan tema “Urgensi Amandemen Konstitusi di Tengah Pandemi: Untuk Kepentingan Siapa?” secara daring, kemarin.
Mahfud menegaskan, wewenang amandemen ada di tangan MPR bersama kaki-kali kelembagaannya yaitu DPR, DPD, dan partai politik. Mau mengubah atau tidak, merupakan keputusan politik di MPR.
Sedangkan untuk pemerintah, tugasnya hanya menyediakan lapangan politiknya. “Pemerintah dalam hal ini hanya akan menyediakan lapangan politiknya. Silakan sampaikan ke MPR/DPR, kita jaga, kita amankan. Itu tugas pemerintah,” terang Mahfud.
Mahfud lalu mengungkapkan sebuah teori yang menyebut konstitusi itu produk kesepakatan yang berdasarkan situasi sosial, politik, ekonomi, dan budaya pada saat dibuat. Kemungkinan sekarang sudah ada perubahan sosial, politik, ekonomi, dan budaya, sehingga perlu dilakukan diskusi lagi untuk melakukan perubahan. Kata dia, silakan akademisi membahas baik buruknya. "Tidak dilarang," tegas Mahfud.
Soal pertemuan Jokowi dengan para ketua umum dan sekjen parpol di Istana, Mahfud mengaku tidak tahu apakah pertemuan itu membahas amandemen atau tidak. Kalau pun dibicarakan, Mahfud menilai hal tersebut tidak apa-apa. "Karena presiden kan didukung oleh parpol yang mempunyai kekuatan di DPR dan MPR,” ucapnya.
Lalu, bagaimana perkembangan di MPR? Setelah banyak dikritik, MPR terlihat ngerem dengan rencana amandemen ini. Wakil Ketua MPR, Arsul Sani memastikan, amandemen tak akan dilakukan di masa pandemi.
"Tidak usah kita perdebatkan. Masih pandemi kok mau amandemen. Tidak terpikirkan di kita itu," kata Arsul, dalam acara diskusi yang sama dengan Mahfud.
Karena itu, kata Wakil Ketua Umum PPP ini, wacana amandemen sebaiknya tidak diributkan lagi. Dia juga menegaskan, wacana amandemen bukan barang baru. Wacana ini sudah muncul sejak lama. Namun, tentu saja tak mudah untuk merealisasikannya. Karena ada syarat dan ketentuan berat yang dipenuhi.
Arsul menambahkan, rencana MPR menghidupkan wacana amandemen UUD 1945 tidak ujug-ujug. Amandemen tersebut merupakan rekomendasi MPR periode 2014-2019 untuk memasukkan PPHN dalam konstitusi. Drafnya sudah mulai dibahas dan ditargetkan rampung akhir tahun ini.
Hanya saja, kata dia, tidak semua fraksi sepakat. Tiga fraksi beda suara. Ada yang setuju PPHN masuk dalam TAP MPR sehingga membutuhkan amandemen, ada juga yang menilai hanya perlu dimasukkan dalam Undang-Undang (UU).
Fraksi yang berpendapat PPHN cukup masuk UU didukung Golkar, Demokrat, PKS. "Tujuh fraksi lain plus DPD setuju payung hukumnya TAP MPR yang berarti butuh amandemen," ungkapnya.
Arsul melanjutkan, rekomendasi MPR periode lalu menugaskan MPR sekarang agar melakukan kajian lebih mendalam soal amandemen PPHN. Karena itu, Badan Pengkajian MPR sedang mengkaji rekomendasi tersebut. "Di MPR sendiri belum ada keputusan apakah ada amandemen apa tidak, ya wong dua syarat amandemen yang ada di pasal 37 UUD 1945 kan belum ada," bebernya.
Sementara, Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Aditya Perdana menilai wajar kalau publik resah dengan wacana amandemen. Soalnya, di masa pandemi ini, wacana itu muncul berulang-ulang. Apalagi sepekan terakhir muncul manuver elite parpol seperti pertemuan Jokowi dengan pimpinan parpol di Istana. "Artinya, kekuatan koalisi pemerintahan saat dominan di lembaga legislatif dan eksekutif sehingga pembuatan kebijakan jadi lebih mudah," kata Aditya, tadi malam.
Menurut Aditya, dalam sistem presidensial seperti di Indonesia, keputusan besar amandemen justru sangat tergantung pada sikap presiden. Kalau presiden tak mau, tentu ia bisa membicarakan dengan partai koalisi agar tak melakukan amandemen dan memilih kebijakan yang lebih strategis. Juga sebaliknya, kalau presiden berkeinginan, parpol sulit menolak.