BRAZIL dan Ekuador menjadi negara yang diyakini menjadi tempat studi banding yang tepat bagi anggota DPR terkait penyusunan RUU Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan (TPKS) yang rencananya akhir tahun akan disahkan.
Wakil Ketua DPR Lodewijk F Paulus hari ini mengatakan dua negara ini menjadi tujuan utama terkait dengan rencana aplikasi dan implementasi RUU TPKS. Brazil misalnya adalah negara yang dianggap memiliki masalah kekerasan seksual yang bahkan sudah menjadi kebudayaan.
“Sudah menjadi budaya negara tersebut, tetapi pada dasarnya bangsa Brazil tidak menginginkan itu terjadi, sehingga dibentuklah suatu kementerian di bawah seorang perempuan dan di situ ada bagian yang mengatur tentang kekerasan seksual. Ada suatu kondisi budaya ada suatu kondisi yang masyarakat tidak ingin itu terjadi sehingga dibentuklah suatu lembaga yang khusus mengatur itu, tentunya didukung dengan UU yang ada,” ungkapnya, Senin (4/10).
Badan Legislasi yang telah konsen dan lama membahas RUU TPKS ingin melaksanakan suatu studi untuk mengetahui seluk beluk pemerintah Brazil menerapkan UU perlindungan perempuan. Hal tersebut dinilai penting karena perang terhadap kekerasan seksual dan perlindungan kepada korban harus menjadi langkah bersama.
“Kalau kita komparasi antara kita ini sebagai bangsa, kalau di sana dianggap sebagai kultur kalau kita tidak, tetapi ada sesuatu yang tentunya kita perlu petik dari bagaimana mengimplementasikan dari aspek struktur atau kelembagaan dan perundang-undangan, itu yang pertama untuk Brazil”
Sedangkan Ekuador sambungnya juga salah satu negara yang setelah dikaji merupakan negara yang mampu dan sudah menjalankan regulasi anti kekerasan kepada perempuan. Kedua negara tersebut telah melaksanakan kerja sama dengan aparat kepolisian terkait perlindungan terhadap perempuan dari kekerasan seksual.
“Di sana memang tidak diatur secara spesifik tentang kekerasan seksual tetapi diatur dalam konteks domestik, tapi kita juga melihat ada suatu perbedaan antara Brazil dengan Ekuador. Jadi law enforcement itu akan sangat terlihat dengan adanya kepolisian, itu yang ingin kita melihat,” cetusnya.
Sementara itu dia berdalih tidak bisa menggunakan sarana teknologi untuk bisa mengetahui regulasi di kedua negara tersebut karena ingin langsung mendatangi langsung dan menerima masukan dari atase Indonesia di sana.
“Masukan-masukan itu yang kami harapkan didapat langsung di lapangan, tidak disiapkan, namanya pertemuan secara online tentunya ada keterbatasan,” cetusnya.
Sementara itu menurut Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini, di tengah situasi pandemi dan juga perkembangan teknologi yang kian maju, studi banding ke Ekuador dan Brazil bukanlah prioritas dan tidak memiliki urgensi yang mendesak.
“Sikap prihatin dan bertindak strategis mestinya bisa ditunjukkan para legislator kita. Sangat banyak data, fakta, dan masukan yang bisa digali dan dikembangkan dari pakar-pakar dan pemangku kepentingan di dalam negeri. Kita pun bisa mengoptimalkan teknologi informasi serta riset komparasi secara daring kalau ingin tahu praktik dari luar negeri,” tegasnya.
Sensitifitas anggota dewan sangat diperlukan dalam situasi krisis pandemi yang masih berlangsung hingga kini. Selain itu juga perlu menjaga perasaan para korban yang sangat menantikan RUU TPKS ini bisa diselesaikan cepat sehingga dapat memberi rasa keadilan maksimal bagi mereka.
“Kunjungan ke luar negeri bukan sesuatu yang mendesak dan bisa dicari model lain yang lebih efektif. Misalnya melalui telekonferensi melalui fasilitasi perwakilan diplomatik kita yang ada di Ekuador dan Brazil. Hal itu lebih hemat, efektif, dan tidak mengurangi esensi tujuan yang hendak dicapai,” tukasnya.