Anggota Komisi I Fraksi PDIP TB Hasanuddin buka suara terhadap pernyataan Gubernur Lemhannas Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo, yang menyatakan TNI tidak lagi bersatu dengan rakyat. Hasanuddin menilai apa yang disampaikan Agus seperti militer di negara demokrasi liberal.
"Ketika saya membaca narasi, kemudian mendengarkan videonya, apa yang disampaikan senior saya Pak Agus, kebetulan juga Gubernur Lemhannas, saya gagal paham. Karena apa yang disampaikan oleh beliau itu seperti militer di negara demokrasi liberal. Artinya, tentara itu dibentuk sebagai kekuatan politik. Kemudian di situ bahkan tidak ada istilah militer pejuang, kalau perlu tentara itu adalah tentara bayaran," kata Hasanuddin dalam siaran di akun YouTube Kanal Anak Bangsa, Rabu (13/10/2021). Dia mempersilakan detikcom mengutip pertanyaannya di akun tersebut.
Hasanuddin mengatakan justru awal pembentukan TNI diisi oleh rakyat. Dia menyebut siapa pun rakyat yang ingin menjaga kedaulatan bisa bergabung ke TNI kala itu, sehingga TNI dan rakyat tidak bisa dipisahkan.
"Kalau kita sejak pembentukan negara ini, itu kan tahun '45, ketika negara dibentuk, kita belum ada militer. Agustus baru kemudian dibentuk Badan Keamanan Rakyat itu bulan Oktober, yang direkrut rakyat, laskar-laskar rakyat yang ingin berjuang mempertahankan kedaulatan rakyat, sehingga rakyat dengan militer dan tentara tidak bisa dipisahkan seperti air dengan ikan," ujarnya.
"Sehingga lahirlah ke sini ini, itu yang namanya filosofi Indonesia tentang perang, perang bagi bangsa Indonesia itu adalah merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari demi menjaga perdamaian. Artinya, Indonesia cinta perdamaian, tapi lebih cinta kemerdekaan dan kedaulatan. Itu dimaknai seperti itu," lanjut Hasanuddin.
Hasanuddin menyebut, dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 masih tertulis TNI merupakan tentara rakyat, seperti apa yang disampaikan Jenderal Sudirman.
"Jadi bahwa perang itu Indonesia cinta perdamaian, tapi lebih cinta kemerdekaan dalam arti menjaga kedaulatan. Lalu dari situ turunlah doktrinnya bahwa defensif aktif, kita menyiapkan tentara yang berasal dari rakyat tidak boleh ekspansi. Tapi hanya bertahan setiap jengkal tanah sampai titik darah penghabisan seperti yang disampaikan oleh Panglima Besar Sudirman, sehingga sampai dengan UU Nomor 34 Tahun 2004 bahwa ciri-ciri dari TNI itu tentara rakyat, tentara pejuang, tentara profesional dan tentara nasional," tuturnya.
Penjelasan Gubernur Lemhannas
Gubernur Lemhannas Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo buka suara perihal pernyataannya mengenai rakyat milik presiden dan tidak berlakunya lagi narasi TNI bersatu dengan rakyat yang viral di media sosial. Apa katanya?
"Itu saya sarankan itu sudah banyak itu dibahas, tetapi saya rasa untuk bisa mengambil rujukan yang tepat dan semuanya tidak bisa dihindari oleh kelompok masyarakat maupun siapa pun," kata Agus di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (13/10/2021).
Agus tak menjelaskan apa maksud pernyataannya itu. Dia hanya mengajak semua pihak kembali kepada konstitusi.
"Mari kita kembali kepada konstitusi karena semua yang ada di negara ini pengaturannya, tata kelola pemerintahan, tata kelola masyarakat itu semua bersumber dan merujuk pada konstitusi dan konstitusi itu tidak bisa dihindari dan tidak bisa dibantah," papar dia.
"Mari kita kembalikan itu kepada konstitusi sebagai rujukan," imbuh Agus
"Jadi konsep manunggal dengan rakyat, tentara bersatu dengan rakyat itu sebenarnya konsep yang keliru ya? Jadi tentara itu nggak dekat, bukan punya rakyat?" tanya Najwa Shihab.
"Jadi awalnya adalah TNI kan ini lahir dari bangsa yang berjuang. Kita belum punya negara, jadi yang berjuang itu adalah rakyat, menyatu itu," jawab Agus Widjojo.
"Bahkan sebetulnya perjuangan merebut kemerdekaan itu adalah perjuangan politik. Sehingga terbagi-bagi atas laskar-laskar. Jadi ada laskar Hizbullah, laskar nasionalis begitu kan. Itu dijadikan satu, jadi TNI, jadi TNI dari sejak awal memang harus berdamai dengan politik, karena dia harus menyatukan politik," sambungnya.
"Nah, waktu perang, itu memang menyatu dengan rakyat, waktu perang. Prinsip perang gerilya kan, antara ikan dan air. Tetapi setelah menjadi demokrasi, setelah merdeka, rakyat itu punyanya presiden. Rakyat itu punyanya yang dipilih oleh rakyat, memenangkan pilpres, pemilu. Kepala daerah, presiden. Jadi rakyat itu lebih dekat dengan Bu Khofifah daripada dengan Panglima," lanjut Agus Widjojo.
"Mengapa? Panglima TNI tidak pernah dipilih oleh rakyat, sehingga dia tidak punya hak untuk menjangkau rakyat, juga kepada sumber daya sipil di masa damai TNI itu tidak punya kewenangan. Itu adalah dwifungsi. Kalau dwifungsi karena dimanjakan oleh Pak Harto dan memang diberikan free range oleh Pak Harto karena sudah percaya, dijamin untuk mendukung kekuasaan Pak Harto maka dia diberikan free range," kata Agus Widjojo.
"Jadi narasi-narasi yang menggambarkan TNI itu bersatu dengan rakyat?" tanya Najwa Shihab.
"Sekarang nggak, rakyat itu punyanya presiden. Dan kalau dilihat aslinya, doktrin-doktrin kemanunggalan TNI rakyat itu untuk prajurit, bukan untuk institusi. Jadi artinya kalau rakyat even kalau sedang latihan haus minta air ya jangan bentak-bentak. Kalau misalnya mau periksa rumah penduduk, jangan ditendang pintunya, dirusak," jawab Agus Widjojo.
"Jadi itu lebih untuk menjaga perilaku tentara sebetulnya?" tanya Najwa Shihab.
"Iya, bukan dalam konsep monopoli rakyat. Jadi tentara itu tidak punya kewenangan untuk menjangkau kepada sumber daya nasional sipil di masa damai. Nah seperti tadi Brigjen Junior ya sudah salah pengertian. Pimpinan yang belum bisa tuntas untuk memberikan pengertian yang benar kepada dia," jawab Agus Widjojo.
"Kekeliruannya karena merasa apa yang dilakukan itu justru bersama dengan rakyat, itu salah persepsi itu?" tanya Najwa Shihab.
"Iya Babinsa kan ngurus, otak-atik masalah sipil. Sebenarnya Babinsa tidak ada kewenangan untuk otak-atik ngurus urusan sipil," jawab Agus Widjojo.
"Tapi praktiknya di lapangan karena konsep teritorial sangat dekat bukan hanya dengan pimpinan desa, tapi juga dekat dengan keseharian rakyat itu juga jadi bagian dan seolah-olah itu dibenarkan, memang tentara bersama rakyat, tentara membela rakyat dan itu keliru sebetulnya?" tanya Najwa Shihab.
"Keliru. Kemarin di sana yang Babinsa itu ngetuk-ngetuk pintu penduduk. Bagaimana Kodam, Koramil, nggak ada jangkauannya kewenangannya untuk menjangkau penduduk sipil. Karena buktinya KTP siapa ya bikin? kartu keluarga siapa yang bikin? Bukan Pangdam, bukan Danrem. Nggak pernah ada itu. Itu adalah aparat sipil," jawab Agus Widjojo.
"Nah, itu kita belum percaya bahwa itu harus berubah. Iya sekarang ini orang kan malas nih. Ada yang mempertahankan karena kepentingan, ada yang malas mikir. Kita tuh malas mikir, maunya yang lama diikutin terus. Mungkin ada kenikmatan di situ yes, mungkin ada kenyamanan di situ yes. Tetapi untuk berubah, belum tentu. Yang jadi korban siapa? Bawahannya tadi itu, antara prajurit TNI dengan Polri. Karena pimpinannya itu malas mikir," lanjutnya.