Wakil Ketua DPR RI Muhaimin Iskandar menerima audiensi Himpunan Nelayan dan Pengusaha Perikanan Samudera Bestari guna mendengarkan kendala, hambatan dan dampak dari pelaksanaan berbagai kegiatan nelayan dan pelaku usaha perikanan. Keluhan yang disampaikan nelayan dan pengusaha perikanan salah satunya adalah keberatan terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Aturan yang memberatkan adalah mengenai besarnya tarif kenaikan PNBP kepada nelayan sekitar 5-10 persen. Selain itu, adanya PP tersebut dianggap merupakan kebijakan yang tidak melibatkan publik, dalam hal ini nelayan dan pelaku usaha perikanan. Untuk itu, nelayan dan pelaku usaha perikanan menuntut kepastian hukum dan kebebasan berusaha yang tidak membebani mereka. Pasalnya, semenjak adanya kebijakan yang memberatkan tersebut, banyak kapal yang berhenti beroperasi, bahkan sebanyak 60 persen nelayan berhenti melaut.
Menanggapi hal tersebut, Gus Muhaimin, sapaan akrabnya, meminta dengan tegas kepada KKP untuk segera merevisi PP tersebut. "PP Nomor 85 Tahun 2021 ini benar-benar menyulitkan dan membuat pelaku dan nelayan untuk memperbaiki ekonominya di masa pandemi ini. Oleh karena itu, DPR dengan tegas meminta kepada Pemerintah melalui Menteri Kelautan untuk segera merevisi, memperbaiki, mencabut PP Nomor 85 Tahun 2021, karena ini sangat-sangat memberatkan,” tegasnya di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Rabu (3/11/2021). Turut hadir, Anggota Komisi IV DPR RI Daniel Johan.
Pimpinan DPR RI Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Korkesra) itu menilai PP tersebut terlampau ambisius untuk mengejar PNBP, padahal tidak ada target pemaksaan PNBP kepada KKP. Selain itu, menurut Gus Muhaimin, PP tersebut disusun tanpa melibatkan dan mengajak nelayan dan para pelaku usaha perikanan, sehingga terindikasi menguntungkan pihak luar dan menguntungkan bisnis besar.
"Oleh karena itu kita akan menindaklanjuti semua masukan dan usulan rencana bahkan kita perlu sampaikan pada Pak Menteri KKP agar benar-benar segera memperhatikan kesulitan yang dialami oleh nelayan dan para pengusaha kelautan yang begitu beban berat atas peraturan-peraturan yang justru menguntungkan pihak-pihak luar secara tidak langsung maupun langsung," imbuh politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini.
Pimpinan Asosiasi Pengusaha Perikanan Gabion Belawan (AP2GB) Solah H Daulay menyatakan PP Nomor 85 Tahun 2021 yang tujuannya untuk meningkatkan PNBP sektor perikanan tetapi justru membebani nelayan dan pelaku usaha perikanan. Aturan sebelumnya kategori kapal kurang dari 60 GT dikenakan tarif 1 persen.
Lalu PP Nomor 75 Tahun 2015 meningkat 5x sehingga menjadi 5 persen dengan kategori kapal kecil 30-60 GT. “Dan di PP 85/2021 GT kapal semakin kecil juga dikenakan yaitu Kapal dengan ukuran 5-60GT tarif 5 persen. Tarif PNBP 5 persen bagi nelayan kecil menurut kami mengada-ada, kami mempertanyakan KKP ini konsultasinya dengan siapa?” kata Solah.
Sementara itu, Ketua Himpunan Nelayan Pengusaha Perikanan (HNPP) Samudra Bestari, Remon menyoroti aturan mengenai patokan harga ikan. Menurutnya patokan harga ikan (HPI) di daerah berbeda-beda, dan yang ditetapkan KKP jauh melampaui harga pada tingkat pasar. Hal ini dapat dikatakan KKP menentukan HPI hanya berdasarkan perkiraan saja tidak melihat realitas di masyarakat. Tingginya HPI ini tentu meningkatkan pungutan terhadap PNBP sektor perikanan yang membebani nelayan dan pelaku usaha perikanan.
“Kita selama ini bergerak di perikanan sudah 30 tahun, tapi kita tidak pernah diajak bicara pembahasan PP 85 itu pak, tiba-tiba saja sudah keluar, jadi isinya apa dan bagaimana dampaknya untuk kita kita tidak tahu,” tutur Remon. Ia menilai pemerintah mengesahkan PP 85 Tahun 2021 secara mendadak dan tidak sesuai dengan ruh Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Remon menyatakan isi PP tersebut banyak yang tidak sesuai dengan harapan nelayan, bahkan cenderung memberatkan.
Dampak lain yang juga disuarakan Asosiasi Nelayan ini adalah masalah BBM solar sangat susah didapatkan mereka. Bahkan harga solar non subsidi di daerah mencapai Rp12.800 per liter, ditambah beban pajak sehingga nelayan tidak bisa melaut. “Saya minta kepastian, kenapa tiap ganti rezim ganti peraturan begini, apa sebenarnya yang terjadi di KKP. Saya lihat KKP ini membunuh pengusaha perikanan yang sudah berpuluh-puluh tahun berusaha. KKP hanya memikirkan mengambil pajak dan PNBP dari laut, tapi tidak memikirkan bagaimana kami mendapatkan BBM langka dan mahal,” ungkap Remon.
Sementara itu, Ketua Umum Aliansi Nelayan Indonesia (ANI) Riyono menyatakan, asal muasal sumber permasalahan penolakan dari nelayan terhadap PP 85 Tahun 2021 adalah berubahnya target PNBP dari sektor kelautan dan perikanan dari Rp600 miliar manjadi Rp12 triliun. “Muara dari penolakan ini adalah dari target PNBP pemerintah dari Rp.600 miliar menjadi Rp12 triliun. Karena itu saya kira ini harus dibatalkan,” kata Riyono.
Audiensi itu dihadiri sejumlah asosiasi, antara lain Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia, Himpunan Nelayan Samudera Lestari, Serikat Pekerja Perikanan Indonesia, Serikat Nelayan Nahdlatul Ulama, Himpunan Nelayan Purse Seine Nusantara, Paguyuban Nelayan Kota Tegal, Asosiasi Perikanan Budidaya, dan Akademisi.