Komisi IV DPR menyoroti minimnya kontribusi para pengusaha di sektor pertambangan dan perkebunan ke negara. Mereka menangguk untung ratusan miliar dari hutan yang dibabat untuk pembukaan lahan. Tapi, pajak yang disetorkan ke negara hanya belasan juta rupiah per hektarenya.
Wakil Ketua Komisi IV DPR Dedi Mulyadi mengatakan, target Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp 11 juta per hektare untuk kegiatan pertambangan dan perkebunan sawit di dalam areal kawasan hutan itu sangat kecil. Sangat jauh dari nilai keuntungan yang diterima pengusaha tersebut.
“Hutan itu kan sudah digunakan berpuluh-puluh tahun untuk kegiatan sawit, kegiatan penambangan, sudah menghasilkan uang yang mungkin puluhan miliar per hektare. Tapi kok ganti sama negaranya hanya 11 juta,” heran Dedi dalam rapat kerja bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Gedung Parlemen, Jakarta, kemarin.
Sementara, lanjut politisi senior Golkar ini, harga tanah saja saat ini sudah sangat luar biasa mahalnya. Makanya, pungutan PNBP ini harusnya dikenakan pada posisi yang ideal, paling sedikit Rp 20 juta untuk setiap hektarenya.
“Itu pun sebenarnya masih kecil karena sudah menikmati waktu yang begitu panjang, sumber daya dikuras, hutannya habis,” tegasnya.
Dedi kemudian menyoroti Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang kini banyak digunakan untuk kegiatan pertambangan dan perkebunan sawit. Negara sama sekali tidak mendapatkan apa-apa dari IPPKH, baik pajak maupun non pajak. Bahkan yang terjadi, izin ini hanya membuat para pemilik izin kaya raya.
Dia pun meminta KLHK tidak membiarkan terus aksi para pemilik izin pakai kawasan hutan ini untuk terus menumpuk kekayaan yang dampaknya sangat berat ke lingkungan.
“Jelasin deh ke kami ketidakberanian bapak di mana, hambatannya di mana? Kalau ada bekingnya, sebutin saja namanya sehingga negeri ini bisa dikelola secara baik,” tegasnya.
Dedi kecewa berat jika para pengusaha pertambangan dan perkebunan di kawasan perhutanan ini terus diberi keringanan-keringanan oleh negara. Sementara kekayaan mereka melimpah ruah luar biasa. Dia pun tidak heran jika kekayaan negara ini hanya numpuk kepada pengusaha tertentu saja.
“Kalau sudah semakin melimpah ruah (kekayaannya, red), akhirnya bapak akan diatur juga oleh mereka. Karena mereka punya kekuatan di berbagai sektor,” wanti eks Bupati Purwakarta ini.
Dedi mengingatkan, jangan sampai negara hanya menghabiskan anggaran sangat besar untuk kegiatan reboisasi. Program penanaman kembali ini menjadi tidak ada artinya dibandingkan dengan ratusan ribu hektare hutan yang dibahas habis untuk kepentingan konglomerasi. Apalagi Direktorat Jendral Penindakan KLHK sering kali ciut nyali menghadapi kekuatan para pengusaha ini.
Hal senada dilontarkan Anggota Komisi IV DPR Suhardi Duka. Menurutnya, penegakan hukum terhadap korporasi yang merambah kawasan hutan baik pidana maupun denda sangat lemah.
Dia pun tidak heran jika pungutan negara baik dari PNBP maupun IPPKH jauh dari potensi yang harusnya diterima negara. “Harusnya negara itu terima Rp 26 triliun tapi cuma Rp 8 triliun,” katanya.
Karena itu, Suhardi menyayangkan kinerja Ditjen Penindakan KLHK yang tidak mampu memenuhi ekspektasi masyarakat dan negara.
“Persoalannya sebenarnya di mana, apakah susah menagihnya, atau tidak menagih dikarenakan temboknya besar, tapi saya kira bukan di situ persoalannya,” tegasnya.
Sementara, Sekjen KLHK Bambang Hendroyono memastikan seluruh masukan dan catatan Komisi IV DPR ini akan ditindaklanjuti. Dia pun melaporkan untuk realisasi belanja di tahun anggaran 2021 ini sudah mencapai sudah 80,04 persen.
Selama kurun waktu 1-2 bulan ini, pihaknya sudah melakukan evaluasi dalam rangka memastikan semua program kegiatan per eselon Imencapai target seperti yang diharapkan. “Dengan penekanan semua yang berbasis masyarakat akan dipercepat,” tegasnya.