Anggota Komisi IV DPR RI Suhardi Duka menilai program tanam singkong dalam proyek food estate pemerintah adalah suatu kebijakan keliru. Sebab, proyek tersebut dilakukan dengan cara mengkonversi kawasan hutan yang masih alami, untuk diganti dengan tanam singkong sebagai upaya menambah cadangan pangan strategis.
“Kawasan hutan yang masih alami itu bagaikan emas. Jadi, kita membuang emas untuk menanam suatu yang bagaikan perak. Bayangkan, bagaimana daya dukung ekonomi terhadap singkong itu dibandingkan dengan daya dukung ekonomi terhadap lingkungan itu sendiri. Kita salah mengambil prioritas dalam mengambil kebijakan,” ujar Suhardi kepada Parlementaria, di Gedung Nusantara, DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (22/11/2021).
Anggota Fraksi Partai Demokrat DPR RI ini menambahkan kepentingan rakyat dalam proyek food estate tersebut dinilai kecil dibandingkan kepentingan perusahaan (korporasi) yang mengelolanya, atau yang disebut dengan off-taker. Karena itu, Suhardi meminta agar tidak mengambil kebijakan yang bersifat jangka pendek dan bersifat ekonomi semata.
“Negara Indonesia ini kaya. Tetapi, kalau kita salah dalam me-manage dalam jangka pendek kita kehilangan segalanya,” pesan Suhardi. Seharusnya, ujar Suhardi, anggaran yang besar untuk proyek food estate lebih baik dialihkan saja untuk subsidi petani dalam bentuk bantuan pupuk dan sejenisnya. Sebab, nilai ekonomi yang dihasilkan, jauh lebih tinggi dibandingkan untuk memenuhi kebutuhan singkong untuk masyarakat Indonesia.
“Nilai ekonomi tutupan hutan yang begitu luas, lalu kita ubah dengan menanam singkong. Berapa sih kebutuhan singkong untuk Indonesia dan berapa nilai ekonominya?” sangsi Suhardi. Diketahui, dalam UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, proyek food estate tersebut seharusnya menggunakan nomenklatur Kawasan Sentra Produksi Pertanian (KSPP). Lahan KSPP ini dinilai masih belum optimal diberdayakan, dibandingkan membuka lahan baru dengan membabat hutan.
Jika lahan KSPP ini dapat dioptimalkan, maka Suhardi yakin Indeks Pertanaman (IP) Indonesia yang saat ini baru di angka 1,52 akan meningkat menjadi 2. “Kan masih banyak lahan selama ini yang hanya mampu ditanaminya 1 kali akibat pengurangan pengairan. Kalau itu kita tingkatkan dua kali lipat, itu jauh lebih besar manfaatnya dibandingkan kita menanam food estate yang menanam singkong itu,” tambah Suhardi.
Dengan demikian, dengan fokus pada lahan yang dikelola dalam nomenklatur KSPP ini, legislator dapil Sulawesi Barat ini yakin IP Indonesia akan lebih efektif dan efektif dan menyamai masyarakat maju yang sudah mencapai angka IP 3 atau 4.