WAKIL Ketua DPR RI Koordinator Bidang Industri dan Pembangunan, Rachmat Gobel, mengajak pengusaha Jepang untuk berinvestasi carbon credit di Indonesia.
"Indonesia berkomitmen untuk melaksanakan Paris Agreement untuk lingkungan yang sehat, bersih, dan berkelanjutan," kata Gobel dalam keterangannya di Jakarta, Senin (1/8).
Hal itu ia sampaikan dalam Forestry Investment Dialogues 2022 yang diselenggarakan Kedutaan Besar RI di Tokyo, Jepang. Pembicara lain ialah Ketua Komisi IV DPR RI Sudin (PDIP) dan Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari Agus Justianto.
Acara itu dibuka Dubes RI untuk Jepang, Heri Akhmadi. Sedangkan anggota delegasi DPR RI lain yang hadir ialah Anggota Komisi VI Subardi (Partai NasDem), Anggota Komisi IV Charles Meikyansyah (Partai NasDem), Anggota Komisi XI Kamrussamad (Partai Gerindra), Anggota Komisi VI Abdul Hakim Bafagih (PAN), dan Anggota Komisi IV Alien Mus (Partai Golkar). Acara ini dihadiri para pengusaha Jepang dan para peneliti dari Jepang.
Gobel, legislator Partai NasDem dari daerah pemilihan Gorontalo, mengatakan, permasalahan lingkungan hidup dan kelestarian alam tidak bisa diselesaikan oleh satu kementerian saja, yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
"Tapi melibatkan kementerian lain serta DPR RI maupun kalangan swasta, akademisi, peneliti, maupun masyarakat itu sendiri. Jadi harus selalu berkoordinasi dan bekerja sama. Jadi beban Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjadi lebih ringan," katanya.
Tak hanya itu, lanjut Gobel, juga membutuhkan bantuan internasional agar lebih mudah dan lebih cepat meraih target.
Sesuai Indonesia’a Forest and Other Land Uses (FoLU) Net Sink 2030, Indonesia manargetkan pada 2030 terjadi net-zero emission gas CO2 hingga 29%. Namun jika ada bantuan internasional, maka akan mencapai 41%. Capaian 100% ditargetkan terjadi pada 2060. Karena itu, kata Gobel, harus ada insentif untuk investor asing dalam carbon credit tersebut.
"Kita harus dengar suara investor asing tersebut seperti dari Jepang ini," katanya.
Gobel menyampaikan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki luas hutan terbesar di dunia, yaitu sekitar 95,6 juta hektare. Dengan potensi yang dimiliki Indonesia itu, katanya, Jepang bisa ikut berpartisipasi bagi pengembangan hutan berkelanjutan.
"Indonesia juga telah memiliki Sovereign Wealth Fund yang memudahkan pengusaha dari negara-negara lain dalam melakukan investasi di Indonesia," ujarnya.
Gobel juga menyinggung telah hadirnya Undang-Undang Cipta Kerja yang memberikan kemudahan dalam berinvestasi di bidang kehutanan serta adaya perubahan paradigma dalam pengelolaan hutan. Menurutnya, ada tiga poin kemudahan berinvestasi di sektor pehutanan.
Pertama, kemudahan perizinan pemanfaatan kawasan hutan. Kedua, perizinan usaha berbasis risiko (Risk Based Approach). Ketiga, penyusunan dan penilaian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) yang diintegrasikan ke dalam proses perizinan berusaha.
Ketua Asosiasi Perhimpunan Persahabatan Indonesia Jepang itu mengingatkan, saat ini dunia sedang dihadapkan pada kenaikan suhu bumi akibat penggunaan energi fosil dan rusaknya lingkungan. Hal itu, katanya, berdampak pada mencairnya es di kutub, naiknya permukaan air laut, dan berubahnya iklim.
"Semua ini harus diselesaikan bersama-sama oleh seluruh penduduk bumi. Kita harus bekerja sama, salah satunya melalui skema berusaha yang ramah lingkungan," katanya.
Menurut Gobel, tiap negara, sesuai Paris Agreement, memiliki target masing-masing untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK). Sesuai Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia, pada 2030 tingkat emisi gas rumah kaca ditargetkan -140 juta ton CO2e.
"Semua itu merupakan upaya untuk mencapai netral karbon atau net-zero emission (NZE), yaitu serapan emisi GRK seimbang atau bahkan lebih tinggi daripada tingkat emisi GRK," katanya.
Untuk mencapai NZE itu, lanjut dia, dilakukan melalui sektor kehutanan, energi, pertanian, industri (industrial process and product uses/IPPU), dan pengelolaan limbah. Ia mengakui, peran dominan ditanggung sektor kehutanan dan kemudian energi. Lainnya memiliki kontribusi yang kecil.
"Dalam kerangka itu, kami mengundang pihak Jepang untuk turut berkontribusi bagi pencapaian NZE di Indonesia tersebut. Melalui carbon credit, ada banyak skema yang bisa dilakukan untuk membangun kerja sama yang saling menguntungkan. Indonesia memiliki lahan yang sangat luas untuk berinvestasi sekaligus berkontribusi bagi tercapainya dunia yang hijau, nyaman, bersih, dan berkelanjutan. Ada banyak bidang yang bisa dikerjasamakan," katanya.
Gobel mencontohkan, salah satu grup BUMN di Indonesia, yang bergerak di sektor perkebunan, memiliki potensi penyerapan karbon mencapai 39,37 juta ton CO2 per tahun.
"Kontribusi terbesar melalui tegakan pohon kelapa sawit, tebu, dan karet. Selain itu, juga melalui program decarbonization dalam hal pengelolaan POME, perubahan pupuk dan pestisida, dan proses pengolahan. Tiga hal inilah yang menjadi sumber emisi GRK, sehingga tiga hal ini yang harus diperbaiki. Inilah salah satu contoh potensi terbaik yang bisa dikerjasamakan," katanya.