Wakil Ketua MPR-RI sekaligus Anggota DPR-RI Komisi VIII yang membidangi isu sosial, Hidayat Nur Wahid, mendesak Kementerian Sosial untuk turut menyalurkan santunan bagi ratusan korban luka tragedi Kanjuruhan. HNW sapaan akrabnya mengingatkan bahwa insiden Kanjuruhan telah menyebabkan luka berkepanjangan dan banyak korban tidak memiliki dana untuk menebus obat-obatan yang dibutuhkan.
“Sudah sepatutnya Kemensos gunakan instrumen Permensos Nomor 04 Tahun 2015 soal santunan Rp 5 juta bagi korban luka berat, di mana hal itulah yang dialami oleh banyak korban tragedi Kanjuruhan. Jangan sampai baru 10 hari berlalu, para korban luka seolah dilupakan meskipun luka fisik dan psikisnya masih terus mereka rasakan,” disampaikan Hidayat dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (11/10).
Berdasarkan data Dinkes Kabupaten Malang, per 9 Oktober 2022 jumlah korban tragedi Kanjuruhan mencapai 714 orang. Sebanyak 131 orang meninggal, 583 luka-luka, dan 33 orang masih menjalani perawatan di rumah sakit.
Korban luka-luka tersebut ada yang wajahnya melepuh, kakinya patah, matanya merah, sesak napas, pusing, mual, dan keluhan medis lainnya yang disebabkan oleh paparan gas air mata yang ditembakkan oleh pihak kepolisian. Nahasnya, banyak dari mereka yang tak mampu membeli obat hingga harus mencari hutang untuk pengobatan.
“Kami apresiasi bantuan yang sudah diberikan oleh Presiden juga oleh Kemensos yang sudah menyalurkan santunan bagi korban meninggal, tetapi korban-korban luka yang banyak di antaranya berasal dari keluarga kurang mampu juga membutuhkan bantuan tersebut. Jika seluruhnya mendapatkan santunan masing-masing Rp 5 juta, maka jumlah yang dibutuhkan hanya Rp 3,2 Miliar saja, angka yang tentu relatif kecil bagi anggaran Kemensos, tapi sangat besar artinya bagi bukti kehadiran Negara dan sangat membantu para korban,” sambungnya.
Anggota DPR-RI Fraksi PKS ini menegaskan bahwa luka yang dialami oleh para korban adalah akibat semprotan gas air mata yang diakui Polri sudah kadaluwarsa, di mana menurut TGIPF dari Menko Polhukam itu dinyatakan sebagai pelanggaran, dan Komnas HAM menyebut itu pelanggaran HAM.
Untuk itu dirinya juga mengapresiasi pihak Kepolisian yang sudah mulai berikan sanksi administratif berupa pencopotan dan mutasi kepada sejumlah pejabat dan perwira Polri, juga sanksi pidana dengan penetapan status tersangka kepada enam orang pihak penyelenggara, serta secara terbuka meminta maaf kepada publik seperti yang dilakukan jajaran Polres Kota Malang.
“Meski demikian, seluruh lapisan masyarakat tetap menuntut agar penyelidikan terus dilanjutkan untuk dapat menuntaskan kasus yang menjatuhkan korban sipil sangat banyak itu, bahkan masuk terbesar kedua sedunia, siapa yang bertanggungjawab harus diberi sangsi hukum yang menjerakan. TGIPF harus bekerja serius dan profesional, serta mempertimbangkan temuan dari tim investigatif lainnya seperti Komnas HAM, Tim Advokasi Aremania, Kontras, dllnya, agar seluruh yang bertanggung jawab diberikan sanksi hukum atau sosial dengan dicopot dari jabatannya, sehingga tragedi Kanjuruhan tidak terulang kembali, dan para korban termasuk yang luka maupun menjadi yatim, tetap dipedulikan dan disantuni oleh Negara,” pungkasnya.