Anggota Komisi VII DPR RI, Mukhtarudin yang merupakan mitra kerja Kementerian Perindusterian (Kemenperin) mengemukakan bahwa mekanisme penetapan kuota impor garam industri sudah berjalan sangat transparan dan objektif.
Pernyataan Mukhtarudin tersebut terlontar menanggapi pemberitaan terkait kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas impor garam industri pada tahun 2016-2022.
"Tidak ada yang salah dengan proses impor garam industrinya. Dalam prosesnya semua berjalan transparan, obyektif, semua stakeholder, baik asosiasi industri serta kementerian terkait telah dilibatkan dan didengar masukkannya. Jadi dalam prosesnya itu sudah sangat transparan dan dihitung sesuai dengan kebutuhan industri," tukas Mukhtarudin, Rabu (10/10/2022).
"Jadi kalau konteks-nya telah terjadi penyelewengan oleh pelaku usaha, itu suatu hal yang berbeda," sambungnya.
Adapun terkait soal proses penyidikan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agusng (Kejagung), Mukhtarudin menyatakan pihaknya menghormati proses hukum yang sedang berjalan.
"Kita menghormati, proses hukum ditegakkan, saya mengharapkan agar penegakkan hukum dilakukan secara objektif dan transparan,” tegasnya.
Sementara itu, Kemenperin sendiri melalui Juru Bicara Kemenperin sekaligus Staf Khusus Menperin Bidang Pengawasan Febri Hendri Antoni Arif mengemukakan bahwa pihaknya menghitung kebutuhan garam sebagai bahan baku dan bahan penolong bagi sektor industri itu berdasarkan surat pengajuan dari asosiasi industri maupun survei bersama kementerian dan lembaga terkait.
Bahkan, termasuk dalam penetapan kuota impor juga dilakukan pembahasan lintas kementerian dan lembaga di bawah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, serta koordinasi dengan Bareskrim POLRI dan melakukan rapat terbatas dengan Wakil Presiden.
“Artinya, penetapan kebutuhan impor garam untuk industri sudah transparan dan sesuai prosedur, dan menggambarkan kebutuhan sektor industri manufaktur secara keseluruhan, baik yang membutuhkan garam dari impor maupun dari lokal seperti sektor industri tekstil, penyamakan kulit, dan lainnya,” kata Febri di Jakarta, Senin (10/10/2022).
Hal itu menurutnya tercermin dalam rekomendasi dari Kemenperin maupun Persetujuan Impor (PI) yang diterbitkan Kementerian Perdagangan sebesar 3,16 juta ton pada tahun 2018.
“Jadi, di bawah angka kebutuhan 3,7 juta ton. Sedangkan realisasi impor pada tahun 2018 itu sebesar 2,84 juta ton,” ungkap Febri.
Selain itu, Ia juga menjelaskan bahwa penggunaan garam impor diverifikasi oleh lembaga independen pada saat verifikasi untuk kebutuhan tahun berikutnya.
Selanjutnya perusahaan menyampaikan laporan kepada Kemenperin setiap triwulan.
“Realisasi impor pada kenyataannya selama ini selalu lebih kecil daripada PI yang diterbitkan karena industri pun tidak akan melakukan impor jika memang tidak memerlukan impor. Sedangkan PI tersebut merupakan rencana dari industri,” paparnya.
Namun, sambung Febri, Jika dalam pelaksanaan impor-nya ditemukan penyelewengan atau penyalahgunaan, hal ini sejatinya merupakan tanggung jawab dari pelaku usaha sesuai aturan Permenperin 34 Nomor 2018 tentang Tatacara Pemberian Rekomendasi Impor Komoditas Pergaraman sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri.
"Menurut peraturan tersebut, pelaku usaha akan dikenai sanksi tidak memperoleh rekomendasi untuk tahun berikutnya," pungkasnya.