Anggota Komisi XI DPR RI Ecky Awal Mucharam meminta penjelasan Bank Indonesia (BI) terkait adanya perbedaan antara asumsi pada Rancangan Anggaran Tahunan Bank Indonesia (RATBI) 2023 dengan di asumsi makro dan APBN 2023. Dalam catatannya, dalam Asumsi ATBI 2023 tertulis pertumbuhan di angka 4,37 persen, namun dalam asumsi makro 2023 sebesar 5,3 persen.
Selain itu, tingkat inflasi di dalam RATBI 2023 sebesar 3,6 persen, namun di asumsi makro tercatat 3,61 persen. Kemudian, nilai tukar di dalam RATBI 2023 sebesar Rp15.070, namun di dalam asumsi makro sebesar Rp14.800.
“Pertanyaan saya adalah apakah BI melihat yang reliable yang sekarang? Mengingat yang lembar asumsi makro itu (disusun) di awal bulan agustus, kemudian sekarang sudah ada perkembangan atau bagaimana?” tanya Ecky dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR RI dengan Gubernur BI yang diselenggarakan di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Senin (21/11/2022)
Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut menambahkan bahwa sebenarnya perbedaan angka-angka tersebut masih di dalam koridor yang telah disampaikan dalam diskusi-diskusi sebelumnya. Namun, Ecky lebih menekankan pada risiko-risiko yang akan muncul dalam konteks fiskal.
“Menurut saya, (perbedaan angka) ini masih make sense. Hanya saja nanti dalam konteks fiskal, apa resiko-resiko fiskal ketika realisasinya kurs itu di angka Rp15.070, lebih tinggi di atas APBN. Contoh konkretnya misalnya dalam konteks perhitungan penerimaan negara dari migas, tentu kita akan nambah ya kan? Di sisi lain kita kan ngimpor juga, itu akan nambah juga. Nah bagaimana kaitannya kepada defisitnya akibat dari selisih ini?” tambah Ecky.
Selain itu, dikemukakan pula bidang lain yang akan terpengaruh perbedaan nilai tukar yaitu pajak-pajak yang dikaitkan dengan valuta asing seperti ekspor-impor. Lebih lanjut, ia kembali menegaskan bahwa yang perlu diperhatikan bukan semata perbedaan asumsi yang ada namun saat realisasinya.
“Kalau bagi saya kan yang penting realisasinya walaupun di APBN (nilai tukarnya) Rp14.800 kan yang penting realisasinya. Jadi BI (harus) bekerja keras menjaga realisasi itu agar mencapai di angka average Rp15.000 tadi. Jadi, katakan (asumsi) ATBI mau diturunkan gitu ya tapi tidak bisa menjaga realisasinya, ya berbahaya juga. Bahkan menurut saya yang lebih reliable yang mungkin sekarang posisinya adalah 15.070, lalu bagaimana risiko fiskalnya akibat itu?” ujarnya usai rapat.
Menanggapi beberapa pertanyaan tersebut, Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo menjelaskan bahwa angka asumsi nilai tukar sebesar Rp15.070 merupakan titik tengah dari pernyataan yang pernah disampaikan oleh BI pada pembahasan sebelumnya yaitu pada rentang Rp.14.800 - Rp 15.200. Asumsi tersebut merupakan hasil kalibrasi ulang setelah berbagai peristiwa yang terjadi pada Juli - November 2022.
“Nilai tukarnya sekarang Rp15.500 - Rp15.600. Kami coba memang ke titik tengah yang kami sampaikan dulu yaitu Rp15.000. Jadi ini titik tengah. Ini pun dengan kejadian dari Juli sampai sekarang ini perlu effort yang luar biasa. Sekarang (nilai tukar) Rp15.500 - Rp15.600 dan dunia masih bergejolak kami mencoba ke titik tengah yang pernah kami sampaikan dulu Rp.14.800 - Rp 15.200 supaya kami juga konsisten. Dulu kami pernah menyampaikan titik tengahnya Rp15.000 (maka) kami menyampaikan Rp15.000,” jelas Perry.
Perry juga menyampaikan bahwa untuk mencapai angka tersebut memerlukan usaha yang luar biasa termasuk melakukan intervensi untuk kemudian menggunakan cadangan devisa. Disampaikannya, hal ini juga akan berpengaruh pada anggaran. Terpantau nilai tukar Rupiah pada Dolar Amerika Serikat per 21 November 2022 berada di kisaran Rp15.695.