Anggota Komisi XI DPR RI Marinus Gea menilai ada kekhawatiran dari masyarakat kelompok tani sawit untuk menerima dana dan melakukan program peremajaan kelapa sawit (PSR) dikarenakan peliknya persyaratan program tersebut. Hal tersebut, dinilainya menyebabkan program PSR ini berjalan kurang optimal.
“Kita fokus pada penggunaan dana kelapa sawit ini yang dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), dari apa yang sudah disampaikan tadi kita melihat bahwa salah satu program yang paling besar yang dilakukan oleh BPDPKS ini adalah peremajaan kelapa sawit (PSR), replanting. Terlihat bahwa sepertinya memang belum cukup sukses untuk program ini terlihat dari dana yang tersedia 1,2 triliun baru diserap ke angka 500an juta,” jelas Marinus saat ditemui Parlementaria usai pertemuan BPDPKS dan Asosiasi Petani Kelapa Sawit dalam Kunjungan Kerja Komisi XI di Sumatera Utara, Medan, Jumat (18/11/2022).
Marinus menyoalkan kejelasan prosedur yang dimotori dari berbagai instansi lembaga pengeluar kebijakan, yang dinilainya ribet. “Hubungan kegiatan ini harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang sudah ditetapkan, ada dari Kementerian Pertanian, ada melibatkan juga KLHK, kemudian melibatkan ATR BPN kemudian dari BPDPKS itu sendiri sebagai pengelola dana. Dan saya menyimpulkan bahwa program ini belum mencapai sasaran sehingga ini sangat-sangat riskan,”
Dikatakan Marinus, dalam praktek penyaluran dana program PSR ini sendiri tidak seluruhnya optimal kepada masyarakat tetapi ada dugaan perusahaan besar juga ikut memanfaatkan dana ini kepentingan perusahaannya. Sehingga, Marinus peran pengawasan dari BPDPKS itu sendiri harus dikuatkan agar program tersebut bisa tepat sasaran.
“Kita mendengar kita mendengar ada juga kebijakan-kebijakan lokal, yang dibuat sendiri untuk memungut biaya dan saya kategorikan ini ilegal. Lalu kemudian Akibat dari semua prosedur yang sangat panjang ini kalau dipanggil penegak hukum habis waktunya sehingga tidak bisa maksimal,” jelas Politisi Fraksi PDI-Perjuangan ini.
Untuk itu, Marinus berharap adanya kesepahaman antar semua instansi yang terlibat dalam pengurusan perizinan dna kebijakan program tersebut. “Misalnya syarat yang disyaratkan oleh Kementan, misalnya salah satu syaratnya bahwa tanah yang digunakan itu tidak termasuk dalam hgu. Nah itu harus didapatkan dari KLHK, sementara pelayanan yang dilakukan oleh KLHK itu lebih dominan di pusat sementara para petani-petani kita ada di daerah-daerah. Belum lagi persoalan misalnya persyaratan yang disampaikan melalui dinas di daerah masing-masing,” tutupnya.