Usulan penggunaan dana Corporate Social Responsibility (CSR) atau Tanggung Jawab Sosial Perusahaan untuk menyelesaikan jalan yang rusak akibat aktivitas pertambangan sempat mencuat dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi VII DPR RI dengan Pimpinan dan Anggota Komisi III DPRD Provinsi Kalimantan Selatan. Namun usulan itu disoroti Anggota Komisi VII DPR RI Adian Yunus Yusak Napitupulu. Ia lebih setuju perbaikan jalan menggunakan biaya produksi perusahaan, dan dana CSR fokus pada pemberdayaan generasi muda.
Demikian ditekankan Adian saat mengikuti RDPU Komisi VII DPR RI dengan Komisi III DPRD Provinsi Kalimantan Selatan, di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Senin (12/12/2022). Dalam kesempatan itu, Komisi III DPRD Kalsel menyampaikan aspirasi terkait longsor dan amblesnya badan jalan nasional Trans-Kalimantan di kilometer 171, tepatnya di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalsel, yang longsor diduga aktivitas pertambangan batu bara oleh sejumlah perusahaan.
“Ada tambang yang mengambil terlalu banyak (hasil tambang), tetapi kemudian tidak mau berbagi apapun kepada rakyat. Saya kurang setuju (perbaikan jalan) dengan (menggunakan) dana CSR. Bagi saya ini tidak bisa diambil dari dana CSR. Kenapa demikian? Karena ini adalah bagian dari biaya produksi, dia (perusahaan tambang) menggunakan jalan itu sebagai transportasi produksinya. Jadi anggaran yang harus dipotong bukan anggaran CSR dari keuntungan (pertambangan), tetapi harus masuk pada cost biaya produksi mereka,” tegas Adian.
“Lalu anggaran CSR itu untuk apa? Ya pakai saja untuk menyekolahkan anak-anak muda terbaik dari Kalimantan Selatan, agar 5 tahun kemudian bisa lahir insinyur-insinyur, sarjana-sarjana dari (perguruan tinggi) berbagai negara dengan ilmu-ilmu terbaik dan terbaru. Sehingga ketika tambang itu habis, Kalimantan Selatan punya aset, bukan lagi batu bara tapi generasi muda yang luar biasa karna punya pengetahuan yang banyak dan luas,” tambah Politisi PDI-Perjuangan itu.
Adian juga mengkritisi keterangan dari Komisi III DPRD Kalsel. Menurutnya ada beberapa hal yang berbeda, di antaranya terkait perizinan truk tambang melewati jalan nasional, penggalian tambang dengan jarak sesuai aturan dari jalan, dan perbaikan jalan. “Pertama disampaikan bahwa perusahaan menggunakan jalan itu, apakah dia berizin atau tidak, bermuatan atau tidak bermuatan menurut saya soal lain. Bisa saja saat isi dia gunakan jalan hauling, saat pulang dia menggunakan jalan tersebut. Benar tidak ini? Isu kedua, penggalian di jarak 60 meter dari jalan raya, sedalam 100 meter. Sementara menurut peraturan undang-undang minimal 250 meter,” tandasnya.
Menurut Adian, hal ini menjadi penting karena menyangkut dana yang akan digunakan untuk perbaikan jalan. Ia memaparkan, jika perusahaan tambang menggunakan jalan itu dalam aktivitas membawa muatan atau tidak membawa muatan, tetapi merupakan bagian dari proses produksi, mereka tetap harus bertanggung jawab. Sehingga perbaikan jalan tidak bisa diambil dari anggaran Kementerian PUPR. Adian menegaskan, jika perbaikan jalan untuk proses produksi tambang diambil dari anggaran PUPR, artinya rakyat memberikan subsidi kepada perusahaan tambang.
“Tapi kalau masalahnya pada isu jarak (penambangan) tersebut terlalu dekat (dengan jalan), dan mereka menambang di wilayah itu, maka ada isu pelanggaran hukumnya, dan ada isu tentang bagaimana memperbaiki jalan. Nah kalau kita berbicara perbaikan jalan, di luar dari pelanggaran hukumnya, maka perbaikan jalan itu bisa diambil dari jaminan reklamasi, karena semua yang digali harus direklamasi ulang dan perusahaan harus memberikan uang di awal untuk jaminan reklamasinya. Nah dari dua hal itu, jalan rusak karena digunakan dalam proses produksi maupun jalan rubuh karena penambangan terlalu dekat, dua-duanya bisa diambil dari CSR,” urainya.
Adian kembali menegaskan, untuk perbaikan jalan akibat aktivitas produksi untuk tidak menggunakan dana CSR, karena termasuk dalam biaya produksi. “Perusahaan pasti akan diminta ambil dari dana CSR, sehingga mengurangi biaya produksi mereka, tidak mengurangi jaminan reklamasi, tapi mengurangi hak rakyat. Nah ini penting untuk kita identifikasi. Tapi dari perjalanan forum ini kan semakin melebar, kita tidak fokus lagi pada obyek yang dilemparkan oleh DPRD. Namun pelebaran objek pembicaraan kita, hanya bisa kita lakukan kalau memang secara runut sudah kita selesaikan persoalan ini,” tutup Legislator Dapil Jawa Barat V itu.