ANGGOTA Komisi III DPR Didik Mukrianto mengatakan saat ini DPR sedang menyiapkan dengan cermat dan hati-hati naskah akademik dan draft RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memang sudah disepakati sebagai Prolegnas Prioritas usul inisiatif DPR.
“Naskah akademik dan draft RUU-nya harus disiapkan oleh DPR. Saat ini DPR sedang bekerja untuk mempersiapkan dengan cermat dan hati-hati,” ujarnya saat dihubungi, Rabu (8/2).
Secara umum KUHAP mengatur formil hukum pidana seperti kewenangan penuntutan, daluarsa, dan lainnya. Revisi KUHAP tersebut menurutnya akan banyak tantangan sebab sangat berkaitan dengan kewenangan sejumlah lembaga penegak hukum.
“Banyak hal yang perlu dibenahi dalam KUHAP, misalnya terkait due process of law yang idealnya harus dimodernisasi atau diupdate kebaharuannya,” ucapnya.
Dia menilai dalam revisi tersebut minimal ada tiga poin utama dalam revisi KUHAP, yaitu terkait dengan upaya paksa, pembuktian, dan menguatkan peran yang lebih besar kepada advokat yang merupakan bagian terintegrasi dari sistem peradilan pidana. Selain itu peran lembaga pemasyarakatan tergolong sentral karena paling menentukan apakah narapidana bisa dikembalikan ke masyarakat atau tidak. Sistem peradilan pidana juga menggambarkan adanya persaingan antar lembaga penegak hukum mulai dari prosesnya di kepolisian sampai pembinaan di lapas.
“Memang salah satu inti persoalan dalam penegakan hukum selama ini adalah implementasi KUHAP. KUHAP sudah waktunya direvisi karena sudah banyak perkembangan yang terjadi secara global seperti prinsip due process of law dan pendekatan restorative justice,” ungkapnya.
Revisi UU Narkoba yang sedang dilakukan oleh Komisi III DPR. Anggota Komisi III DPR Santoso menerangkan pembahasan revisi UU Narkotika masih berjalan alot dan dibutuhkan kecermatan oleh setiap anggota. Salah satu pembahasan yang krusial yakni tentang penguatan Badan Narkotika Nasional (BNN) sebagai pusat penindakan dan pencegahan narkotika di Indonesia. Selama ini peran BNN dinilai tidak bertaring karena kewenangannya yang dibatasi disebabkan adanya ego sektoral.
“Sedang dibahas peran BNN yang sekarang ini seperti mati segan hidup tidak mau, ada tapi tidak bisa represif. Jadi kami membahas klasifikasi dan pengutaan BNN dan juga anggarannya,” ujarnya.
Dalam revisi tersebut juga dibahas tentang penambahan nomenklatur dari RUU Narkotika menjadi narkotika dan psikotropika. Hal tersebut usulan pemerintah yang menilai kegentingan terhadap pengaturan zat psikotropika dan perkembangannya termasuk metode pembuatannya yang sudah sangat berkembang.
“Perpanjangan ini memang ada penambahan nomenklatur dari RUU narkotika menjadi psikotropika karena soal psikotropika ini sudah urgen untuk dimasukan dalam UU jadi dibuat lebih rinci dan perkembangan psikotropika sudah bahaya. Bahan ini kapan saja bisa diproduksi dari unsur pembuatan yang lama dan baru maka perlu diantisipasi,” ungkapnya.
Dinamika pembahasan pun sambung dia terjadi pada setiap anggota DPR. Hal ini betujuan untuk menjadikan revisi UU Narkotika visioner dan mengatur secara sanksi dan pencegahan narkoba. Berbagai usulan disampaikan untuk menguatkan peran BNN dalam menangani narkoba termasuk usulan tidak rekrutmen pegawai BNN yang bukan dari polri.
“Kalau BNN mau seperti polisi jumlahnya maka harus ada perubahan radikal pada sistem ketetanegaraan kita ini juga jadi bahan diskusi. Tapi memang tidak gampang kalau kita memperbaiki harus radikal, bahkan diusulkan kepada kepala BNN dipilih oleh DPR,” cetusnya.