ANGGOTA Komisi VIII DPR RI Ibnu Mahmud Bilalludin menyoroti penetapan status kebencanaan yang masih bergantung pada pemerintah daerah yakni gubernur, bupati atau walikota tidak efektif.
Berdasarkan Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang penyelenggara Penanggulangan Bencana menyebutkan penentuan status keadaan darurat kebencanaan ditetapkan oleh presiden, dan di tingkat daerah oleh gubernur, bupati, atau walikota.
"Saya usulkan penetapan ini bukan diberikan bukan pada berwenang tapi ada protokol kebencanaan yang dibuat BNPB atau disepakati bersama. Jika sudah memenuhi protokol itu maka sudah ditetapkan bencana," kata Ibnu dalam Rapat Kerja dengan BNPB di Nusantara II Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (12/4).
Ia mengkhawatirkan jangan sampai penetapan kebencanaan malah ada unsur politik. ia mencontohkan bisa saja satu daerah tidak memilih bupati terpilih maka tidak ditetapkan bencana.
"Saya usulkan penetapan status kebencanaan bukan dari pemerintah daerah tapi dari protokol kebencanaan itu sendiri," ujarnya.
Sementara itu, Anggota Komisi VIII DPR RI Endang Maria Astuti menilai sosialisasi pencengahan kebencanaan yang dilakukan BNPB kepada masyarakat masih perlu diperluas kembali terutama untuk masyarakat yang berdomisili di sekitar daerah yang rawan bencana seperti gunung berapi aktif dan pesisir.
"Setidaknya tidak hanya dalam kesiapsiagaan peringatan dini dan mitigasi saja tetapi satu hal sosialisasi kebencanaan di tingkat grassroot di masyarakat," kata Endang.
Hal tersebut dibutuhkan untuk menjaga keamanan masyarakat dan agar masing-masing daerah untuk mengenali kebencaan lebih dipahami. Ia juga menyoroti bahwa semakin kesini generasi muda masih belum paham peringatan dini dari kebencanaan di wilayah masing-masing.
"Kebanyakan program (BNPB) adalah ketahanan jadi agar supaya seimbang saya pikir akan menjadi sangat penting untuk pencegahan bencana," pungkasnya.