Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil mengatakan cara oknum peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) berinisial APH yang melakukan ancaman terhadap warga Muhammadiyah, mirip intimidasi dan agitasi ala PKI di era 1960-an. Karena itu, Nasir mendukung kepolisian untuk memproses hukum kasus ini.
Nasir mengatakan, sangat tidak layak dan patut seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bekerja untuk pengembangan ilmu dan pengetahuan, mengeluarkan kata-kata yang bernada ancaman tersebut. Apalagi, ancaman itu dialamatkan kepada Muhammadiyah, organisasi besar Umat Islam di Indonesia.
Dijelaskannya, penyataan oknum peneliti BRIN ini, secara langsung atau tidak telah mengancam perbedaan sikap beragama di Indonesia. Dalam perkara ini, ujarnya, pihak kepolisian akan menangani kasus ini. Pihak Bareskrim Mabes Polri sudah melakuan profiling pernyataan APH yang mengancam warga Muhammadiyah.
Nasir mengatakan, langkah APH yang meminta maaf atas perbuatannya harus dihormati. Namun, proses hukum juga harus ditegakkan dalam rangka untuk menjaga supremasi hukum. "Semoga polisi bertindak cepat dan akurat serta objektif,” ujar Politisi Fraksi PKS ini.
Apalagi, dalam narasinya di media sosial, dia menantang dirinya dilaporkan ke polisi. Jika tidak diproses hukum, publik akan menduga bahwa APH bagian dari rezim yang berkuasa.
“Saya pikir permintaan maaf yang bersangkutan tetap kita hormati. Begitu pun jika postingannya itu ditindaklanjuti dengan proses hukum itu juga bentuk penghormatan terhadap supremasi hukum,” kata Nasir.
Kepada pimpinan BRIN, Nasir berrharap juga berani mengambil sikap dengan cara menjatuhkan disiplin kepada yang bersangkutan, sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. “Penegakan kode etik dalam bentuk sanksi kepada yang bersangkutan diharapkan, memberikan efek jera agar ke depan, jangan ada orang di BRIN yang memecah belah umat beragama,” kata Anggota DPR dari Aceh ini.