Anggota Komisi VIII DPR RI Mochamad Hasbi Asyidiki Jayabaya mengajak masyarakat yang menjadi korban kekerasan seksual agar melaporkan kepada aparat kepolisian untuk diproses secara hukum.
"Kita cukup prihatin banyak kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan dan anak tidak melapor ke aparat kepolisian dengan alasan trauma," katanya dalam keterangan di Lebak, Banten, dalam keterangan tertulis yang diterima Parlementaria, Minggu (30/4/2023).
Menurutnya, korban harus berani melaporkan pelaku kejahatan seksual, pencabulan, dan pelecehan anak agar diproses hukum. Apalagi, paparnya, Indonesia merupakan negara hukum sehingga pelaku harus diproses secara hukum untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Namun, kata dia, pihaknya menyayangkan sekali banyak kasus korban kejahatan seksual, pencabulan, pemerkosaan hingga pelecehan anak di beberapa daerah tidak melaporkan ke aparat kepolisian.
"Mereka baru belasan tahun melaporkan kasus tersebut karena dengan alasan korban merasa traumatik dan ketakutan," ujar Politisi Fraksi PDI-Perjuangan ini.
Maraknya kasus tersebut, papar dia, perlu adanya penggencaran sosialisasi yang dilakukan Komisi VIII DPR RI dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak kepada masyarakat. Menurut dia, sosialisasi bertujuan memberikan edukasi dan keberanian masyarakat untuk melaporkan ke kepolisian agar diproses hukum.
“Kami minta masyarakat melaporkan jika menemui dan menjadi korban kekerasan seksual kepada kepolisian," katanya.
Ia mengatakan berdasarkan data korban kekerasan seksual, pencabulan, dan pelecehan anak di Indonesia sekitar 58 sampai 68 persen tidak melapor.
Dia mengatakan mereka tidak melapor kasus tersebut karena mendapat ancaman dari pelaku sehingga korban merasa ketakutan, termasuk faktor budaya masyarakat jika melapor kepada kepolisian bisa menimbulkan aib keluarga.
"Sekarang Kementerian Sosial dan Kementerian PPPA membuka "online" dan memanfaatkan media sosial untuk memudahkan masyarakat melapor," katanya.
Pencegahan kekerasan seksual terhadap perempuan harus melibatkan semua pihak, termasuk masyarakat, pemerintah daerah, anggota DPR, Polri, dan berbagai elemen lainnya, kata dia.
Ia mengatakan penanganan kekerasan tersebut bukan hanya tugas Kementerian PPPA saja, melainkan dilakukan bersama dengan berbagai elemen masyarakat dan pemerintah daerah. “Kami mengajak masyarakat tidak takut untuk melaporkan kasus kejahatan seksual agar dapat diproses hukum," katanya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Kependudukan dan Keluarga Berencana (DP3AKKB) Provinsi Banten Siti Ma'ani Nina mengatakan kasus kekerasan perempuan di daerah ini pada tahun 2022 mencapai 1.131 kasus dan sebagian besar pelakunya orang dekat.
"Tingginya kasus kekerasan seksual anak dan perempuan di Banten tentu menjadi perhatian serius pemerintah daerah setempat. Pelaku kejahatan seksual terhadap anak dan perempuan didominasi orang terdekat, seperti orang tua kandung, orang tua tiri, kerabat, guru, tetangga, dan teman korban," bebernya.
Ia mengatakan korban kekerasan seksual perempuan dan anak ditangani Unit Pelaksana Teknis Perlindungan Perempuan dan Anak Daerah (UPTD PPA) di masing-masing kabupaten dan kota.
Di mana fungsi UPTD PPA, lanjut dia, meliputi penjangkauan asesmen, pendampingan, koordinasi pemenuhan hak perempuan, dan anak, termasuk pemerhati anak. "Selain itu, kami bermitra dengan aparat penegak hukum. Kita bersama-sama menanganinya jika ada kasus kekerasan seksual perempuan dan anak," katanya.