Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah merampungkan peta jalan (roadmap) OJK 2022-2027. Roadmap ini berisikan permasalahan, tantangan, dan program kerja selama 5 (lima) tahun dari kepemimpinan Anggota Dewan Komisioner (ADK) OJK yang telah dilantik sejak tahun lalu.
Menanggapi hal ini, Anggota Komisi XI DPR RI Puteri Komarudin mengimbau OJK agar melaksanakan roadmap tersebut secara maksimal. “Kami ingin menyampaikan apresiasi atas penyempurnaan roadmap ini. Beberapa hal yang menjadi perhatian kami juga sudah diakomodir, seperti kebijakan kendaraan listrik dan hilirisasi industri, sinkronisasi dengan peta jalan sektoral, pengawasan terintegrasi, edukasi dan perlindungan konsumen, penanganan pengaduan konsumen, serta penanganan investasi ilegal dan pinjaman online (pinjol) ilegal,” ungkap Puteri di Gedung DPR RI, Kamis (25/5/2023).
Puteri menekankan bahwa sebaik-baiknya produk perencanaan, tentu yang terpenting adalah segera dijalankan sebaik mungkin, dan nantinya juga dievaluasi secara berkala dengan mempertimbangkan berbagai dinamika terkini.
“Seperti halnya kasus serangan siber hingga dugaan kebocoran data nasabah yang dialami Bank Syariah Indonesia (BSI), yang membuat layanan lumpuh beberapa hari dan pastinya sangat merugikan bagi nasabah, terutama mereka yang tinggal di Aceh. Bahkan, Pemprov Aceh kini mempertimbangkan untuk membuka peluang bank konvensional kembali beroperasi,” urai Puteri.
Lebih lanjut, Puteri menilai kejadian ini harus menjadi perhatian dalam Roadmap OJK untuk semakin meningkatkan upaya mitigasi terhadap serangan siber dan kebocoran data nasabah di industri jasa keuangan, termasuk perbankan syariah. “Untuk itu, kami juga ingin mendapat penjelasan dari hasil penyelidikan dan investigasi OJK terkait kasus yang menimpa BSI tersebut. Khususnya, evaluasi OJK terhadap manajemen risiko dan sistem ketahanan dan keamanan siber BSI,” ujar Puteri.
Menutup keterangannya, Politisi dari Fraksi Partai Golkar ini juga menekankan agar Roadmap OJK, khususnya terkait penguatan edukasi dan perlindungan konsumen harus dijalankan secara optimal. Mengingat masih cukup lebarnya celah antara tingkat inklusi dan literasi keuangan.
“Saat ini tingkat inklusi keuangan kita sudah mencapai 85,10 persen, tetapi literasi keuangan masih di kisaran 49,68 persen. Bahkan, bila ditinjau secara sektoral, masih sangat timpang antara literasi di sektor perbankan yang sudah mencapai 49,93 persen dengan sektor financial technology (fintech) yang masih 10,90 persen. Maka tak heran, banyak sekali pengguna pinjol ilegal, maupun yang menggunakannya untuk memenuhi kebutuhan konsumtif tanpa mempertimbangkan kemampuan membayar,” tutup Puteri.