ANGGOTA Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Anis Byarwati, menilai narasi mengenai beban utang Indonesia dalam kondisi yang aman ialah keliru. Salah satu sebabnya yaitu belanja bunga utang sudah mencapai 20% dari belanja pemerintah pusat.
"Ini harus hati-hati, jangan dinarasikan yang bunga-bunga (baik-baik) saja," ujar Anis melalui keterangannya yang dikutip pada Kamis (25/5).
Anis mengatakan, rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dapat dikatakan aman jika pendapatan negara setiap tahunnya tercapai. Kondisi di Indonesia justru yang terjadi adalah shortfall penerimaan negara sangat tinggi, khususnya penerimaan perpajakan.
Selain itu, rupiah cenderung rentan terdepresiasi sehingga risiko lonjakan utang menjadi sangat tinggi. Karenanya, Anis memperingatkan pemerintah bahwa beban pembayaran bunga utang akan terus bertambah. Apalagi dengan kondisi utang yang terus bertambah.
"Pemerintah wajib menerapkan manajemen risiko keuangan Negara dan Fiscal Sustainability Analysis (FSA) termasuk Debt Sustainability Analysis (DSA) secara komprehensif," tuturnya.
Jika dilihat dari rasio utang terhadap penerimaan, lanjut Anis, utang saat ini sebesar 369%, melampaui rekomendasi International Debt Relief (IDR) sebesar 92-167% dan rekomendasi IMF sebesar 90-150%.
"Tentu ini akan menjadi beban berat APBN kita ke depannya apabila pemerintah tidak mengelolanya dengan tepat," pungkasnya.
Optimisme Sri Mulyani
Diketahui sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, pengelolaan keuangan negara sejauh ini masih tergolong berkelanjutan dan cukup baik. Itu terlihat dari kemampuan pembayaran bunga utang dan utang pokok yang dilakukan pemerintah.
"Yang paling penting prinsipnya yang jatuh tempo bisa dibayar, yang kemudian beban utang tetap manageable, itu yang masuk dalam sustainabilitas," ujarnya kepada awak media saat ditemui di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (23/5).
Sri Mulyani menambahkan, realisasi pembayaran utang yang dilakukan pemerintah juga dapat diketahui publik. Pasalnya Bendahara Negara melaporkan dan memublikasikan hal tersebut secara berkala setiap tahun.
"Tiap tahun kita tahu berapa, utang itu kan ada jangka waktunya, untuk yang jatuh tempo, maupun pembayaran utangnya itu sudah ada di dalam APBN. Dan itu masuk di dalam strategi pembiayaan setiap tahun. Itu yang kita lakukan," jelasnya.
Mengutip data Kementerian Keuangan, nilai utang Indonesia hingga 31 Maret 2023 mencapai Rp7.879,07 triliun. Dengan nilai tersebut, rasio utang Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional berada di angka 39,17%.
Utang tersebut didominasi oleh penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) dengan porsi 89,02% dari total utang, setara Rp7.013,58 triliun. Mayoritas SBN itu juga diterbitkan ke pasar domestik dengan nilai Rp5.658,77 triliun yang terdiri dari Surat Utang Negara (SUN) senilai Rp4.600,97 triliun dan Suray Berharga Syariah Negara (SBSN) senilai Rp1.057,80 triliun.
Sementara penerbitan SBN di pasar Valuta Asing (Valas) mencapai Rp1.354,81 triliun, terdiri dari penerbitan SUN senilai Rp1.056,40 triliun dan penerbitan SBSN senilai Rp298,42 triliun.
Adapun porsi utang yang berasal dari pinjaman tercatat sebesar 10,98%, setara Rp865,48 triliun. Itu terdiri dari pinjaman dalam negeri senilai Rp21,31 triliun dan pinjaman luar negeri senilai Rp844,17 triliun.
Sedangkan bila menelisik lebih jauh ke belakang, pada 2022 pemerintah pembayaran pokok cicilan utang sebesar Rp81,2 triliun dan pembayaran bunga utang mencapai Rp386,34 triliun. Dus, pada 2022 pembayaran pokok cicilan utang dan bunga utang yang dilakukan pemerintah mencapai Rp467,54 triliun.