Anggota Komisi VII DPR RI Rofik Hananto menyayangkan rencana dimasukannya kembali Power Wheeling ke Daftar Inventaris Masalah (DIM) ke DPR yang rencananya akan dibahas pekan depan bersama Kementerian ESDM RI.
Power Wheeling merujuk kepada mekanisme yang memperbolehkan pihak swasta atau Independent Power Producer (IPP) untuk membangun pembangkit listrik dan menjual secara langsung terhadap masyarakat melalui jaringan transmisi PLN. Ini artinya PLN tidak menjadi single multiple buyer karena pembangkit langsung menjual listrik ke konsumen.
Selain itu, pada awal 2023 pemerintah juga telah bersepakat untuk tidak memasukkan power wheeling dalam DIM RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan yang diserahkan ke DPR untuk dibahas.
Rofik mengatakan dari sisi konstitusi, power wheeling ini melanggar aturan UUD NRI 1945 Pasal 33 Ayat 2 yang berbunyi, “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”.
“Power wheeling ini akan mengurangi tingkat penguasaan negara (dalam hal ini diwakili oleh PLN) terhadap sistem ketenagalistrikan nasional. PLN tidak mempunyai kendali atas listrik yang melewati jaringannya,” ujar Aleg DPR Fraksi PKS tersebut dalam rilis persnya kepada Parlementaria, Selasa (21/11/2023).
“Power wheeling ini akan mengurangi tingkat penguasaan negara (dalam hal ini diwakili oleh PLN) terhadap sistem ketenagalistrikan nasional,"
Selain UUD NRI, Rofik mengatakan power wheeling juga melanggara UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan khususnya Pasal 10 Ayat 2 yang berbunyi, “Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara terintegrasi.”
Putusan MK No. 111/PUU-XIII/2015 tentang pasal ini sendiri menyatakan bahwa tidak dibenarkannya praktik unbundling dalam usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sedemikian rupa sehingga menghilangkan kontrol sesuai dengan prinsip “dikuasai oleh negara”.
“Praktik power wheeling ini sangat berpotensi mengurangi kontrol PLN terhadap sistem ketenagalistrikan nasional,” tegas Rofik.
Dari sisi manfaat ekonomi, ia menjelaskan power wheeling ini secara langsung hanya akan menguntungkan dua pihak saja, yaitu pihak pembangkit dan pembeli listrik. Sedangkan pihak lain di luar keduanya akan dirugikan, yakni PLN, keuangan negara, dan yang paling penting masyarakat.
PLN dapat dirugikan karena sistem ketenagalistrikan nasional sedang mengalami oversupply. Lewat ketentuan take or pay maka PLN harus menanggung biaya produksi listrik yang dihasilkan oleh independent power producer (pembangkit listrik non-PLN). Saat ini IPP yang untung karena tetap dibayar sementara PLN mengalami kerugian, dan dengan adanya power wheeling potensi oversupply akan bertambah di masa yang akan datang dan PLN yang akan tetap tidak mampu mengurangi tingkat oversupply-nya.
Selain itu juga terdapat potensi jaringan PLN mengalami kelebihan beban dengan bertambahnya pasokan listrik karena power wheeling ini. Sementara investasi jaringan transmisi dan distribusi harus tetap berjalan, baik pembangunan baru atau penguatan jaringan yang sudah ada sebelumnya, agar ketahanan sistem ketenagalistrikan tetap dapat ditingkatkan.
“Power wheeling akan menyebabkan beban PLN makin berat dalam memelihara dan meningkatkan jaringan transmisi dan distribusinya. Hal ini diperparah dengan kondisi laporan keuangan tahun 2022 PLN yang masih terlilit utang sebesar Rp400-an triliun,” terang Rofik.
Pihak kedua yang dirugikan menurut Rofik adalah keuangan negara. Kondisi oversupply yang diperparah dengan power wheeling ini akan menyebabkan beban PLN yang semakin besar dan akan berakibat pada peningkatan anggaran negara yang dialokasikan untuk PLN baik dari segi penyertaaan modal negara (PMN) maupun anggaran kompensasi dan subsidi.
Pihak ketiga yang disayangkan Rofik imbas isu power wheeling ini adalah rakyat sebagai konsumen listrik. Peningkatan beban PLN lewat power wheeling dapat meningkatkan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) atau biaya penyediaan tenaga Listrik oleh PLN untuk melaksanakan kegiatan operasi di pembangkitan, penyaluran (transmisi), dan pendistribusian tenaga listrik ke pelanggan. Peningkatan BPP ini akan berdampak kepada kenaikan tarif listrik bagi konsumen itu sendiri.
“Jadi jelas power wheeling ini akan menguntungkan dua pihak saja. Sementara PLN, negara dan rakyat akan dirugikan,” jelas Rofik.
Rofik menegaskan untuk meningkatkan bauran energi terbarukan tidak harus dengan power wheeling yang bertentangan dengan konstitusi, perundangan dan hajat hidup orang banyak. PLN dapat memenuhi target peningkatan energi baru ini dengan merealisasikan target-target yang ditetapkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).
“Dalam RUPTL PLN 2021-2030 telah jelas bahwa target kapasitas pembangkit energi baru terbarukan (EBT) adalah sebesar 51,6% atau 20,923 MW pada 2030. Ini artinya kalau PLN disiplin dalam menjalankan amanat RUPTL ini maka Indonesia bisa melakukan transisi energi dengan baik tanpa melanggar konstitusi dan merugikan hajat hidup Masyarakat,” imbuh Politisi asli Purbalingga tersebut.